Search

Widya Arafah, Merajut Kisah Manusia melalui Rumah Produksi Film - kompas.id

Tak disangka, Widya sangat menikmati proses pembuatan film. Petualangan kreatif memfilmkan kisah Aladdin membuat dia jatuh cinta pada kegiatan produksi film. Pada saat yang sama, ia berminat dalam penyutradaraan film.

Widya pun terus menambah pengetahuan tentang film. Salah satunya, dengan mencermati sejumlah film, antara lain film Lady Vengeance karya Park Chan Wook dan Whiplash karya Damien Chazelle. Dari film Lady Vengeance, ia terinspirasi dengan gaya visual Park Chan Wook. Sementara itu, dari film Whiplash, ia belajar bagaimana gaya Chazelle membangun karakter-karakter yang kuat dalam film.

Proses pengambilan gambar untuk proyek Sinema Sora.
ARSIP MALIK

Proses pengambilan gambar untuk proyek Sinema Sora.

”Aku juga jadi mikir, oh, ini fungsinya director. Kalau, misal, director-nya punya visual style yang menarik, itu juga bisa mengubah cerita filmnya. Bisa membuat pembawaan audiovisualnya jadi berbeda. Itu cukup meng-influence aku untuk mencoba eksplorasi style aku sebagai director,” ungkapnya.

Semakin tahu lebih banyak soal film, semakin ia sadar bahwa membuat film bukan perkara mudah. Prosesnya panjang dan rumit. Selain itu, untuk melahirkan karya film dibutuhkan wadah yang lebih stabil. Dari situlah ia memutuskan mendirikan rumah produksi film sendiri bernama Sinema Sora.

Sinema Sora tak hanya menjadi tempat berkarya, tetapi juga sebagai platform untuk menopang keberlangsungan proyek-proyeknya bersama sejumlah teman di lingkungan kampus.

”Akhirnya aku nekat bikin (film) sendiri karena waktu itu ada naskah yang ingin aku bikin jadi film. Terus, aku coba tanya ke teman-teman dan ternyata keadaan PH (rumah produksi) mereka memang lagi sulit. Ya, udah, aku bikin PH sendiri dan aku menggunakan Sinema Sora ini untuk funding,” papar perempuan yang baru lulus dari Jurusan Antropologi Sosial Universitas Indonesia itu, Rabu (31/1/2024).

Widya Arafah tengah menyutradarai proyek film Sinema Sora.
ARSIP AZKA HAEKAL

Widya Arafah tengah menyutradarai proyek film Sinema Sora.

Sebagai mahasiswi antropologi, Widya menyelami berbagai isu sosial, kemanusiaan, hingga kebudayaan. Alhasil, isu-isu itulah yang dituangkan dalam naskah dan film yang digarapnya. Itu sebabnya, karya-karyanya semasa kuliah memiliki sentuhan antropologis.

”Konsep-konsep antropologi sangat membantu aku buat nulis. Aku belajar bahwa tiap manusia punya kultur dan perspektif yang berbeda sehingga aku sebagai manusia juga berusaha untuk memahami manusia lain,” ujar Widya.

Proyek Sinema Sora berjudul Jakarsa (2023), misalnya, mengisahkan mimpi manusia yang tinggal di perkotaan. Ide naskah Jakarsa berangkat dari pemahaman antropologis tentang kompleksnya kehidupan manusia di kota.

Baca juga: Nasywa Adivia Wardana, Menghapus Asap Menjadi Asa

”Sebelum aku masuk antropologi, aku melihat kehidupan di sekitarku itu biasa aja, enggak menarik. Sejak kuliah, aku sadar, semuanya terlihat biasa saja karena aku sudah besar di kota. Padahal, kehidupan sekitarku bisa jadi luar biasa bagi orang yang latar belakang dan tempat tinggalnya berbeda denganku,” ujarnya.

Berkat studi antropologi, Widya menyadari bahwa sangat banyak keputusan dalam hidup manusia yang terpaut dengan latar belakang mereka. ”Aku belajar banyak konsep yang membuat aku sadar, kehidupan di kota punya impact yang besar banget ke orang-orang kota, termasuk bagaimana mereka bermimpi. Akhirnya, dari situ aku bikin naskah Jakarsa,” ucap Widya.

Jakarsa terpilih untuk tayang dalam festival film internasional pertamanya, Metropolis Film Festival, di Milan, Italia, pada 2024. Sebelumnya, film garapan Widya, Lalu (2022), sukses terpilih sebagai Best Short Film dalam Student World Impact Film Festival (SWIFF) 2023.

Film itu juga ditayangkan dalam beberapa ajang festival film di sejumlah kota, seperti Jogja-Netpac Asian Film Festival 2022. Secara keseluruhan, Lalu sukses menarik lebih dari 80.000 penonton.

Banyak tantangan

Selama menjalankan Sinema Sora setahun ini, Widya menemukan banyak tantangan. Ia menyikapi setiap tantangan sebagai bagian dari proses. Saat ini, tantangan terbesar yang mesti dihadapinya adalah bagaimana mempertahankan Sinema Sora.

”Banyak tantangannya, seperti gimana kami bisa tetap produksi film agar bisa dapat income, mengingat sumber daya yang aku punya enggak sebesar itu, dan lain-lain. Aku juga masih berupaya banget karena Sinema Sora, kan, kurang lebih baru setahun juga, ya,” tuturnya.

Banyak tantangannya, seperti ’gimana’ kami bisa tetap produksi film agar bisa dapat ’income’, mengingat sumber daya yang aku punya enggak sebesar itu, dan lain-lain.

Tak lantas menyerah, Widya menyiasati tantangan dengan cermat. Perencanaan adalah kunci utama dari strateginya. ”Per enam bulan, biasanya aku planning mau ngapain di Sinema Sora. Planning-nya itu, kami bakal bikin proyek apa aja ada naskah apa aja selain dari punyaku. Terus, nanti baru kami pikirkan, gimana cara cari pemasukannya, dan lain-lain,” ujarnya.

Untuk memudahkan tim, Widya membagi proyek Sinema Sora ke dalam dua tipe, yakni proyek dengan skala besar dan skala kecil. Perbedaannya terdapat pada proses dan waktu yang dibutuhkan untuk menggarapnya.

Untuk proyek besar, sifatnya memang lebih ambisius, misalnya masuk ke festival-festival yang cukup besar. Proyek besar biasanya makan waktu 6-7 bulan di luar proses pembuatan naskahnya.

”Karena kami memang berusaha membangun dari awal production, kami juga menargetkan budgetnya bisa besar, makanya produksinya dilamain agar bisa sambil maintain film tersebut,” ucap Widya.

Sementara itu, proyek dengan skala kecil cenderung mengikuti kebutuhan tenggat. Salah satu bentuk proyek ini adalah kampanye sosial hasil kolaborasi dengan pihak lain.

Salah satu set saat proses pengambilan gambar Sinema Sora yang disutradarai oleh Widya Arafah.
ARSIP ARJUNA ARAFAH

Salah satu set saat proses pengambilan gambar Sinema Sora yang disutradarai oleh Widya Arafah.

”Misalnya, ada yang pengin bikin social campaign mengajak Sora. Nah, ya udah, kami ikutin aja dikumpulnya tanggal berapa. Makanya, untuk proses pembuatan naskah, produksi, dan editing itu lebih cepat, biasanya dua bulan aja udah bisa jadi,” lanjut Widya.

Semua langkah dilakukan Widya untuk membuat Sinema Sora tetap aktif. Bukan hanya untuk dirinya, melainkan juga untuk mewadahi teman-temannya yang ingin berkarya.

Widya mengakui, sebagai anak muda, menjaga konsistensi memang lebih sulit daripada memulai hal-hal baik. Namun, alih-alih berpikir macam-macam mengenai tantangan di depan, Widya menyarankan Sobat Muda untuk memulai dulu apa yang diinginkan.

”Jangan lupa, memulai itu enggak harus dari hal besar, lakuin semuanya step by step, dari tangga pertama ke tangga kedua, dan seterusnya. Jangan lupa untuk nikmati setiap prosesnya,” tuturnya. (DOE/*/**)

Widya Arafah

Lahir: 4 Maret 2001

Penghargaan, antara lain:

- Quarter Finalist Student World Impact Film Festival 2023

- Brawijaya Film Festival (BYFest) 2022: Best Picture

- Festival Film Purwakarta 2022: Penulis Naskah Terbaik

- UI Film Festival 2022: Anugerah Komune Emas

- Official Selection ReelOzInd! Australia-Indonesia Short Film Festival 2023

- Quarter Finalist Student World Impact Film Festival 2023, Official Selection CMS

- International Children’s Film Fest 2023

***

Kolaborasi dengan Intern Kompas: Chelsea Anastasia, Mahasiswa Jurnalistik Universitas Padjadjaran, dan Kamila Meilina, Mahasiswa Antropologi Sosial Universitas Indonesia

Adblock test (Why?)

baca dong https://news.google.com/rss/articles/CBMigwFodHRwczovL3d3dy5rb21wYXMuaWQvYmFjYS9tdWRhLzIwMjQvMDIvMDIvd2lkeWEtYXJhZmFoLW1lcmFqdXQta2lzYWgtbWFudXNpYS1tZWxhbHVpLXJ1bWFoLXByb2R1a3NpLWZpbG0_b3Blbl9mcm9tPVNlY3Rpb25fVGVyYmFyddIBAA?oc=5

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Widya Arafah, Merajut Kisah Manusia melalui Rumah Produksi Film - kompas.id"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.