Search

Film Jelek sebagai Perlawanan - Jawa Pos - JawaPos

PADA 2 Mei 2024, Hari Pendidikan Nasional, Azzam Fi Rullah (tentu ini semacam nama pena), sutradara muda yang tanpa ia mau kini berstatus sutradara cult Indonesia, pergi ke bioskop New Star Cineplex di Rangkas Bitung. Bioskop itu kurang lebih 90 km dari tempatnya tinggal. Azzam mengejar film Mencadin: Dendam Pocong karya sutradara Bangka Belitung Bram Ferino. Bisa diduga dari judul dan posternya, film itu bukanlah jenis ”film mendidik”. Semasa Orba, istilah untuk film bermutu menurut rumusan pemerintah adalah ”kultural edukatif”.

Azzam bercerita di X betapa ia deg-degan karena ada peraturan bioskop independen itu bahwa filmnya hanya diputar kalau pembeli tiket sampai pada batas tertentu. Ia membeli dua tiket untuk memastikan bahwa film bisa diputar. Sepanjang film, penonton ramai berkomentar. Anak kecil di depan Azzam memutar TikTok dengan volume besar. Azzam berciap, ”Inilah pengalaman sinematik itu.”

Azzam adalah salah satu penggawa Kolong Sinema, sangat produktif menghasilkan film-film pendek dengan moda produksi independen dan gerilya. Semua filmnya sejauh ini adalah film-film eksploitatif. Antara lain: Goyang Kubur Mandi Darah (2018), Pandemi(e): Arumi & Lidah Pocong (2021), dan Bootlegging My Way to Hell (2022) yang sempat jadi perdebatan internal lama di LSF apakah bisa diloloskan untuk Jogjakarta Asian Film Festival 2022 karena dianggap terlalu sadis.

Baca Juga: Makelar Bandit Tolchopo

Sebetulnya, yang menonjol dalam film-film Azzam adalah kebermainannya. Sadisme dan segala pakem eksploitasi dalam film-filmnya jadi wahana bermain-main bentuk. Ada yang nyaris ideologis pada kebermainan Azzam dan Kolong Sinema. ”Nyaris ideologis” karena sebetulnya memenuhi ciri-ciri ideologis, tapi tak pernah dirumuskan menjadi sebuah pernyataan, manifesto, apalagi sebuah tubuh-pengetahuan yang utuh.

Toh jelas terasa sebuah sikap menyanggah dan menampik dengan keras ideologi mapan perfilman kita maupun dunia. Azzam dan Kolong Sinema beserta lingkar kreatif mereka disebut oleh peneliti film Ekky Imanjaya sebagai kelompok yang paling dekat dengan definisi gerakan estetika dalam perfilman kita. Mereka, menurut Ekky dalam obrolan pribadi, (1) memiliki ciri khas, (2) memiliki platform bagi karya-karya mereka (sempat ada festival film jenglot di circle itu), dan berhasil (3) menciptakan ”pengikut” di kalangan penonton maupun pembuat film lebih muda.

Gerakan estetika di perfilman kita sebelumnya, I Sinema, menerbitkan manifesto pada 1999. Dalam gerakan itu, ada Mira Lesmana, Riri Riza, Nan T. Achnas, Rizal Mantovani, Jay Subiakto, dan –buat saya paling menarik– Yato Fionuala. Nama terakhir adalah satu dari sekian alias: Nayato Fionuala, Koya Pagayo, Ian Jacobs, Chiska Doppert. Dalam wawancara dengan filmindonesia.or.id (2011), Nayato mengomentari ringan soal I Sinema, ”Tidak penting juga. Gaya-gayaan saja.”

Baca Juga: Waspada Orang Makan Orang

Ia sangat prolifik. Sampai 2011 saat diwawancarai, ia telah menghasilkan kurang lebih 50 film dalam berbagai nama samarannya. Rata-rata film genre eksploitatif, dibuat dengan strategi produksi biaya rendah. Azzam memuja Nayato dan keduanya memiliki persamaan: kerelaan untuk ”menjadi jelek” dalam membuat film sekaligus kesadaran bentuk yang kuat sehingga bisa ”mempermainkan” batasan serta kaidah teknis dan normatif dalam film. Unsur-unsur filmis seperti gerakan kamera, warna, dan editing mereka pahami sehingga mereka bisa bekerja dalam keterbatasan dana atau alat bagaimanapun.

Dalam sejarah sinema, khazanah ”film jelek” bisa melahirkan para pembaru. Peter Jackson (trilogi The Lord of the Rings), misalnya, bikin film Bad Taste (1987) dengan darah palsu buatan ibunya di dapur. Seluruh produksi sangat amatir dan justru jadi wahana berimajinasi liar genre alien-slasher dalam gaya film B. Pada 1970-an, Roger Corman dikenal sebagai raja film eksploitatif low-budget dan membuka pintu karier bagi Francis Ford Coppola, Martin Scorsese, dan Jonathan Demme. Di Jepang, sutradara besar seperti Sion Sono memulai karier sebagai pembuat film porno di industri Pinku Eiga.

Dalam konteks ini, ”film jelek” adalah awal perjalanan menjadi ”bagus”. Tapi, kategori ”jelek” dan ”bagus” tidaklah ajek. Sering kali ”bagus” tak lebih dari ”sesuai kaidah estetika tertentu”. Di luar kaidah, sebuah karya rentan dinilai ”jelek”. Misalnya, film-film Garin Nugroho sejak Cinta dalam Sepotong Roti (1991) masih diyakini banyak kritikus sebagai ”gambarnya bagus, ceritanya buruk”. Penilaian negatif ini bertumpu pada sebuah narasi-(di-)tunggal(-kan) bahwa ”film adalah wahana cerita” dan ”cerita” harus memenuhi kaidah tertentu –biasanya berakar pada sastra dan teater Barat.

Baca Juga: Maudy Ayunda Debut Jadi Produser: Kombinasi Kecintaan pada Pendidikan, Film, dan Bisnis

Banyak film Garin yang diancang untuk mencari jalan lain berproduksi dan bertutur visual. Misalnya, praktik satu shot satu makna sejak film pendeknya Gerbong Satu, Dua… (1985) menyempal dari kelaziman film Indonesia yang manut standar Hollywood yang menerapkan beberapa shot (biasanya tiga) untuk satu makna yang akan dijahit di meja editing menjadi sebuah aliran cerita yang lancar dan memancing emosi penonton. Misalnya, close-up wajah setiap kali ada puncak emosi (menangis, berteriak marah, menjerit ketakutan). Ketika kelancaran itu diganggu, penonton bisa jadi akan merasa kok jelek betul filmnya.

Tapi, bisa juga penonton justru terpapar peluang menikmati tuturan visual secara ”agak lain”. Lalu, sebuah cakrawala pun terbuka. Kenikmatan tak lagi tunggal. (*)

Adblock test (Why?)

baca dong https://news.google.com/rss/articles/CBMiRWh0dHBzOi8vd3d3Lmphd2Fwb3MuY29tL2hhbHRlLzAxNDY2NzAxMS9maWxtLWplbGVrLXNlYmFnYWktcGVybGF3YW5hbtIBSWh0dHBzOi8vd3d3Lmphd2Fwb3MuY29tL2hhbHRlL2FtcC8wMTQ2NjcwMTEvZmlsbS1qZWxlay1zZWJhZ2FpLXBlcmxhd2FuYW4?oc=5

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Film Jelek sebagai Perlawanan - Jawa Pos - JawaPos"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.