Film adalah karya kreatif yang saat ini sudah mempunyai fungsi yang beragam tergantung dari sudut pandang/perspektifnya. Film dapat ditinjau sebagai sebuah karya seni, bisa juga ditinjau sebagai media hiburan semata, bisa juga berfungsi sebagai media kritik atau protes, atau juga sebagai sebuah media kampanye sesuatu.
Secara tidak kita sadari kadang film mempunyai pengaruh yang mendalam bagi para penontonnya. Pengaruh ini bisa dalam konteks mengubah sudut pandang, persepsi, ataupun pendapat. Dapat juga mempengaruhi gaya hidup kita atau sebagai trend setter, dan juga bisa memberikan dampak negatif kepada psikologis penontonnya yang terjadi tanpa disadari.
Selama dampak yang terjadi dari sebuah film tidak negatif, maka semuanya akan baik-baik saja. Masalahnya, ada kondisi-kondisi atau jenis film tertentu yang berpotensi untuk memberikan dampak negatif kepada para penontonnya. Salah satu segmen penonton yang sangat rentan dengan dampak negatif ini adalah anak-anak yang masih di bawah umur.
Tidak sedikit tulisan yang mengupas bahaya film-film bergenre horor, laga dengan tingkat kekerasan tinggi, thriller, dan film dengan konten seksual khususnya bagi anak-anak di bawah umur (yang dimaksud di sini adalah penonton di bawah usia 17 tahun).
Film dengan genre horor dapat mengganggu perkembangan anak dalam bentuk potensi membuat anak-anak menjadi traumatis, mempunyai kecenderungan gangguan kecemasan yang tinggi, sulit tidur bahkan sampai membuat gangguan kepribadian anak yang menjadi mudah pemarah.
Demikian pula dengan film bergenre laga dengan kekerasan tinggi, juga menimbulkan risiko yang tinggi terhadap perkembangan psikologis seorang anak, yang dapat membuat seorang anak berpotensi untuk berkurangnya empati, menjadi penakut, dan yang berbahaya adalah jika seorang anak bisa meniru apa yang mereka lihat. Hal ini juga bisa membangun pandangan dunia sebagai tempat yang kurang simpatik, berbahaya, dan menakutkan yang memunculkan sikap agresif.
Termasuk juga film dengan konten seksualitas yang dapat membangun imajinasi seorang anak melihat adegan-adegan yang belum sepantasnya dia lihat. Dampak-dampak negatif tersebut di atas sudah menghasilkan bukti-bukti nyata; tidak sedikit yang terjadi hampir di seluruh belahan dunia. Seorang anak yang melakukan pembunuhan dengan sadar dan tanpa penyesalan menjadi sebuah berita yang semakin sering kita dapati sehari harinya.
Termasuk juga anak-anak di bawah usia yang melakukan hubungan seksual atau pemerkosaan yang sudah bukan berita yang asing lagi. Dan, rata-rata terbukti bahwa film mempunyai pengaruh yang besar terhadap perilaku-perilaku negatif tersebut. Pada Maret 2020, seorang remaja NF (berusia 16 tahun) secara sadar melakukan pembunuhan terhadap gadis berusia 5 tahun di Sawah Besar. NF mengakui bahwa pembunuhan tersebut terinspirasi dari film horor.
Mei 2009, seorang remaja New York bernama KS meledakkan Starbucks karena terinspirasi dari sebuah film. Seorang siswa di Iowa menggigit teman wanita sekelasnya juga karena terinspirasi oleh sebuah film. Pada 2015 di Pekanbaru seorang anak tewas di tangan teman-temannya akibat pengaruh film lokal. Dan, masih banyak lagi peristiwa lainnya yang terjadi karena dampak negatif sebuah film, baik yang terangkat di media maupun yang tidak.
Sebuah riset yang dilakukan pada 1,000 anak di New Zealand terhadap kebiasaan menonton anak-ana, menunjukkan hasil bahwa kemiripan perilaku agresif, antisosial, dan emosi negatif pada usia 21-26 tahun ternyata sesuai dengan film-film yang mereka tonton.
Bukannya tidak ada upaya untuk mencegah atau meminimalisasi potensi dampak negatif dari sebuah film. Setiap film yang akan tayang (baik yang di bioskop maupun di layar televisi) harus melalui sensor yang dilakukan oleh Lembaga Sensor Film (LSF) yang kemudian mengkategorikan apakah film tersebut untuk semua umur, remaja, atau dewasa. Semua film harus melalui tahapan ini.
Masalahnya, penegakan peraturan terhadap kategori yang telah dikeluarkan oleh LSF tersebut. Masih sangat sering kita melihat anak-anak di bawah umur yang menonton film yang bukan peruntukan usianya (menonton bersama orangtuanya). Keberadaan anak kecil di sebuah ruang bioskop di samping berbahaya untuk perkembangan psikologis anak tersebut, ada potensi bahwa anak tersebut juga akan mengganggu kenyamanan penonton lainnya.
Beberapa waktu lalu sempat viral berita seorang anak di bawah umur yang menangis dan berkata "takut", malah dipaksa oleh orangtuanya untuk tetap menonton sebuah film horor dengan kategori dewasa. Saat ini kita hanya akan membahas film yang tayang di bioskop/layar lebar saja, karena pembahasan film yang tayang di televisi akan membutuhkan evaluasi dan solusi yang lebih rumit lagi. Isu utama dari masalah ini terletak pada; pertama, orang tua.
Bisa jadi orangtua tidak sadar bahwa anak-anak di bawah umur yang menonton film dengan kategori yang bukan seharusnya berpotensi untuk membahayakan perkembangan psikologis anak tersebut, atau bisa saja orangtua tersebut memang tidak peduli dengan apa yang akan terjadi.
Kedua, pengelola bioskop itu sendiri. Pengumuman di konter tiket (ticket box) dalam bentuk imbauan "Menonton Sesuai Batas Usia" tidaklah cukup. Di samping itu, saat ini ada alternatif untuk pembelian tiket yang dilakukan secara online, sehingga pembeli tiket tidak berhubungan langsung dengan konter.
Apakah sulit bagi pihak pengelola bioskop untuk menegakkan peraturan kategori umur dari sebuah film ini? Sama sekali tidak sulit. Ini semua dikembalikan kepada komitmen dari pengelola bioskop tersebut. Buktinya setiap kita memasuki area biskop (khususnya XXI), pihak pengelola bioskop dapat menempatkan satu orang security hanya untuk memastikan bahwa kita tidak membawa makanan/minuman dari luar bioskop. Hal ini untuk memastikan bahwa kita harus membeli makanan dan minuman di kafe milik bioskop tersebut. Mengapa tidak pada saat memasuki ruang bioskop ada petugas yang menyobekkan karcis sekaligus menolak penonton yang di bawah umur?
Kembali ini masalah komitmen, dan sepatutnya ada teguran keras kepada pengelola bioskop apabila terjadi pengabaian hal ini.
Pada 1979, ketika masih kecil bersama orangtua, kami berencana untuk menonton film Meteor (film tentang bencana jatuhnya meteor ke bumi) yang diperankan oleh Sean Connery, petugas bioskop menolak kehadiran saya untuk menonton film tersebut (pada saat itu usia saya baru 12 tahun, dan peruntukan film itu adalah untuk 13 tahun ke atas). Saya waktu itu sempat menangis tidak menerima alasan penolakan tersebut karena menurut saya film itu jauh dari konten seksual, kekerasan, atau horor, tapi peraturan adalah peraturan. Hal itu terjadi pada 1979, dan pengelola bioskop mampu menegakkan peraturan tersebut. Kenapa sekarang tidak?
Permasalahan ini adalah hal serius; dampak yang akan terjadi kemungkinan baru kita rasakan pada 20 sampai 25 tahun mendatang, ketika anak-anak ini sudah dewasa. Tentunya kita tidak akan membiarkan munculnya anak-anak yang anti sosial, traumatis, tidak mempunyai empati dan segala perilaku buruk yang muncul akibat dampak (yang tidak disadari) dari sebuah film.
Di lain sisi saat ini sepertinya impian agar film Indonesia menjadi tuan rumah di negerinya sendiri sudah bisa dikatakan tercapai. Hanya saja saat ini film Indonesia dengan genre horor cukup besar porsinya di antara film-film Indonesia yang beredar. Euforia terhadap film Indonesia ini memang sepatutnya mendapatkan dukungan penuh untuk mendorong perkembangan industri perfilman Tanah Air, tapi tentunya tidak dengan mengorbankan potensi kerusakan psikologis anak.
Mungkin ini juga menjadi pekerjaan rumah bagi Komisi Perlindungan Anak yang mempunyai tanggung jawab untuk melindungi pertumbuhan anak Indonesia khususnya ketika orangtua sudah tidak peduli terhadap hal ini.
Riza Novara pengamat film
(mmu/mmu) baca dong https://news.google.com/rss/articles/CBMiR2h0dHBzOi8vbmV3cy5kZXRpay5jb20va29sb20vZC03MzM3NDQ0L3NlbGFtYXRrYW4tYW5hay1kYXJpLWZpbG0tZGV3YXNh0gFLaHR0cHM6Ly9uZXdzLmRldGlrLmNvbS9rb2xvbS9kLTczMzc0NDQvc2VsYW1hdGthbi1hbmFrLWRhcmktZmlsbS1kZXdhc2EvYW1w?oc=5Bagikan Berita Ini
0 Response to "Selamatkan Anak dari Film Dewasa - detikNews"
Posting Komentar