SOLOPOS.COM - Tangkapan layar film pendek garapan filmeker asal Solo, Zen Al Ansory berjudul Kunjungan Spesial (2015) yang masuk dalam kategori film eksperimental. (Solopos.com/Dhima Wahyu Sejati)
Solopos.com, SOLO—-Film pendek berjudul Kunjungan Spesial dibuka dengan suasana Pasar Gede Solo pada 2015 silam. Tepatnya di jembatan penyeberangan orang (JPO) yang kala itu terbentang kain warna merah serta foto besar Presiden-Wakil Presiden, Joko Widodo dan Jusuf Kalla.
Seorang perempuan berbaju merah berjalan menyeberangi JPO sembari membawa rantang berisi makanan di tangan kiri. Dia kemudian melewati keramaian Pasar Gede. Lalu menuju ke satu tempat dan sampailah dia di kandang babi. Di situ dia mulai mengelus, memandikan, dan memberi makan untuk si babi. Bahkan perempuan itu ikut makan bersama.
Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal
Setelah bermain-main dengan babi pejantan, dia memperagakan sebuah tarian atau koreografi pendek yang diberi judul I Love Pig and Pig Love Me garapan Made Tantri Parwita. Film ditutup dengan scene perempuan berbaju merah itu menjaga lilin di tengah kegelapan agar tidak padam.
Film Kunjungan Spesial adalah garapan filmmaker asal Kota Solo, Zen Al Ansory mengeksplorasi alur cerita dan struktur film hingga menghasilkan karya yang tak lazim.
Zen sengaja merespons fenomena sosial-politik waktu itu, yakni ketika film itu diproduksi pada 2015. Meski tanpa dialog, namun Zen mengkomunikasikan pesan yang ingin disampaikan dalam film melalui simbol seperti gambar Jokowi-JK di Pasar Gede, baju warna merah, babi, serta lilin.
Zen membuat film itu melalui pengalaman pribadinya ketika pada 2014, dirinya mengontrak sebuah rumah di daerah Palur, Mojolaban, Sukoharjo, Jawa Tengah. Kebetulan tetangganya adalah seorang peternak babi.
“Dari situ muncul ide membuat film. Waktu itu lagi ramai-ramai Pilpres 2014, dan ramai-ramai pemberitaan terkait orang yang tertangkap korupsi. Di situ istri dan anak-anaknya ramai-ramai mengunjungi suami atau bapaknya, itu cukup ramai diberitakan,” kata dia kepada Solopos.com, belum lama ini.
“Sebenarnya lewat film itu saya ingin membicarakan tentang Indonesia yang waktu itu super keruh, dengan korupsi banyak, orang yang tidak malu [bapaknya korupsi]. Kemudian saya kaitkan dengan isu politik bahkan juga mitologi tentang menunggu lilin [yang identik dengan babi ngepet],” kata dia.
Zen bisa dibilang menggarap film itu cenderung menggunakan peralatan yang apa adanya. Namun menurutnya dari situ malah muncul kesan sinematik yang lebih organik dan terasa tidak dibuat-buat.
Apa yang digarap oleh Zen, pria yang juga Dosen Film & Animasi, Fakultas Industri Kreatif Telkom University Bandung itu, keluar dari pakem yang kemudian dikatergorikan sebagai film experimental.
“Konteks menyimpang di sini adalah berarti film experimental bertentangan dengan sinema dominan atau arus utama. Artinya bertentangan adalah pembuatan film eksperimental melakukan pembuatan film dengan mendobrak formalitas film mulai dari konsep bahkan hingga teknis,” kata dia kepada Solopos.com, belum lama ini.
Pada dasarnya seperti yang dikerjakan oleh Zen, film eksperimental memberikan ruang yang luas untuk menghadirkan hal baru meski itu di luar pakem. Eksplorasi itu juga ditampilkan dalam film pendek berjudul Sembilan Mutiara dari Surga (2021) yang disutradarai oleh Fendi Siregar. Film itu tayang di kanal Indonesiana.tv.
Film itu diawali dengan adegan dimana sekelompok orang berjalan menuju satu tempat untuk melakukan semacam “ritual”. Lalu ada tujuh perempuan berkebaya putih meragakan Tari Bedayan yang dikelilingi sembilan wayang golek berkarakter perempuan.
Sembilan wayang golek perempuan itulah yang dimaksud sebagai “Mutiara dari Surga”. Sebab sembilan wayang golek itu berwujud perempuan-perempuan suci lintas agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia.
Perempuan suci tersebut seperti Dewi Sri, Siti Asiyah, Kuan Im, Maryam, Siti Khadijah, Saraswati, Siti Fatimah, Siti Hajar, dan Taahireh.
Zen mengatakan film eksperimental mungkin tidak menceritakan kisah apa pun, hanya menciptakan lamunan puitis atau kolase visual yang tampak abstrak. Namun, menurutnya hal itu malah menantang penonton untuk mendefinisikan, menterjemahkan, dan memaknai satu karya.
“Meskipun tidak sepenuhnya menentang naratif film seperti halnya di dokumenter, eksperimental memiliki kekhasan dalam mendefinisikan dirinya sendiri,” kata Zen dalam tulisannya berjudul Kanon Eksperimental: Mengkontekstualisasi Kembali Realitas Film yang dia tulis bersama Dyah Ayu.
Mengutip apa yang ditulis Zen, pada akhirnya, film eksperimental telah menjelma menjadi media ungkap manusia, ke dalam sebuah alat komunikasi yang juga telah mengabadikan apa yang telah dilakukan oleh manusia selama beribu-ribu tahun, yakni menyampaikan kisah.
“Jika sebelumnya bercerita dengan lisan, lalu aksara, namun kini menjadi sebuah medium yaitu gambar bergerak. Dan bagaimana sejatinya film [eksperimental] adalah upaya untuk memilih makna. Memaknai kebudayaan, memaknai pula akan perubahan,” kata dia.
Bagikan Berita Ini
0 Response to "2 Film Berkisah dengan Simbol dan Kolase Visual - Soloraya Solopos.com"
Posting Komentar