Search

Ulasan Film: 'The Post'

Jakarta, CNN Indonesia -- Lampu mesin fotokopi yang menyala-nyala kebiruan di sebuah ruangan kecil itu menjadi saksi bocornya dokumen negara super rahasia. Di sana, Daniel Ellsberg pembocor dari RAND Corporation mengopi dokumen yang menjadi bukti kebohongan pemerintah AS pada rakyat.

Bagian paling bawah, di mana halaman dan keterangan "sangat rahasia" berada, dipotong.

Kelak, dokumen yang salah satunya menyebut bahwa pengiriman tentara Amerika ke Vietnam pada 1960-an sampai 1970-an 70 persen hanya untuk menjaga gengsi Negara Adidaya itu, padahal periset sudah tahu mereka takkan menang, lebih dikenal sebagai Pentagon Papers.


Di ruang fotokopi itulah konflik dalam film The Post dimulai.

Steven Spielberg kembli ke kursi sutradara, mengarahkan bintang senior Meryl Streep dan Tom Hanks yang menjadi penerbit perempuan pertama di AS serta Editor Eksekutif The Washington Post. Ia lagi-lagi harus berjibaku dengan sejarah AS, seperti saat tangannya membidani Schindler's List, Saving Private Ryan, Lincoln, Bridge of Spies, dan Munich.

Meski ini bukan film dengan konflik menarik atau suntikan adrenalin seperti E.T., Jurassic Park, Jaws, War of the Worlds, Catch Me If You Can, apalagi India Jones, Spielberg tak pernah kehilangan sentuhan ajaibnya. Ia berhasil membuat konflik internal media yang tak banyak dimengerti khalayak umum serta sejarah Amerika menjadi tontonan asyik.


Dari Perang Vietnam di mana Daniel (Matthew Rhys) periset militer 'gondrong' yang dipekerjakan Menteri Pertahanan Robert McNamara (Bruce Greenwood) terjun mengamati untuk kemudian menyimpulkan bahwa AS takkan memenangi perang melawan komunis itu, Spielberg mengajak penonton masuk ke lingkungan media. Konfliknya berganti internal.

Ada Kay Graham (Streep) yang bimbang karena harus meneruskan bisnis keluarga padahal ia tak pernah 'dipaksa bekerja' sebelumnya, memutuskan saham The Washington Post untuk melantai di bursa. Selama ini ia hanya 'lady' yang berteman dengan banyak politisi.

Ia sering berselisih paham dengan Ben Bradlee (Hanks), editor eksekutif yang percaya korannya harus melakukan sesuatu untuk bersaing. Mimpinya adalah menjadikan The Washington Pos tak hanya koran lokal. Ia tak mau berita utamanya hanya hal-hal baik tentang negara.


Di tengah ketegangan menjual saham dan meliput pernikahan putri Presiden Richard Nixon, saingan mereka The New York Times menaruh hal mengejutkan sebagai berita utama. Mereka mengaku mendapat bocoran bahwa riset yang diinisiasi McNamara sebenarnya sudah menyimpulkan Perang Vietnam adalah percuma. Alih-alih, pemerintah tetap membohongi warga.

Mereka menyebut tentara AS mengalami kemajuan pesat di Vietnam. Selama bertahun-tahun, dari presiden ke presiden, mulai Dwight Eisenhower, JFK, Lyndon Johnson sampai yang berkuasa saat itu, Nixon, mereka tetap mengirim pemuda-pemuda AS ke medan perang.

The Washington Post kelabakan mencari dokumen asli riset itu. Saat mereka akhirnya mendapatkannya, Gedung Putih melarang The New York Times menerbitkan apa pun soal dokumen yang disebut membahayakan stabilitas negara dan menyalahi UU tentang spionase di AS.

[Gambas:Youtube]

Keputusan The Washington Post untuk tetap menerbitkannya, di tengah kekhawatiran soal hukum dan investor yang melepas saham, pada akhirnya mengubah sejarah Amerika. Itu juga mengubah sejarah surat kabar yang sudah didirikan sejak 1877 itu.

Spielberg sedikit demi sedikit memberi konteks soal Perang Vietnam, karakter Nixon dan orang-orang disekelilingnya, demokrasi Amerika, sampai kebebasan pers sehingga penonton tak ahistori. Hasilnya, suguhan film sejarah yang tak hanya menarik bagi insan pers.

Meskipun, di awal film terasa agak membosankan karena konteks keseluruhannya belum jelas.

Meryl Streep menjadi penerbit perempuan pertama di Amerika Serikat dalam film 'The Post.'Meryl Streep menjadi penerbit perempuan pertama di Amerika Serikat dalam film 'The Post.' (REUTERS/Stefanie Loos)
Akting Streep dan Hanks mendukung karya yang dinominasikan sebagai Film Terbaik di Oscar 2018 ini. Streep dengan jelas menampakkan kegelisahan seorang pebisnis baru, perempuan di industri media. Mimiknya mewakili kebimbangan saat ditodong pilihan antara harus menerbitkan Pentagon Papers atau membela teman-teman dekatnya yang politisi.

Namun ia juga sukses menjadi perempuan tangguh seperti saat memerankan The Iron Lady.

Hanks membuat karakter kuat sebagai editor eksekutif yang tegas, idealis dan tak takut apa pun demi menegakkan prinsip jurnalisme, meski ia sendiri terhitung dekat dengan JFK. Kemarahan serta sindirannya saat surat kabarnya tak mendapat berita utama yang eksklusif dan menggebrak, persis menggambarkan bagaimana media saat itu dijalankan.

Tom Hanks memerankan karakter yang kuat sebagai editor eksekutif The Washington Post.Tom Hanks memerankan karakter yang kuat sebagai editor eksekutif The Washington Post. (REUTERS/Lucas Jackson)
Ditambah latar yang dibuat Spielberg dan tim produksinya soal bagaimana ruang redaksi media-media AS, The Post memberi gambaran layak dan meyakinkan soal industri jurnalistik.

Tak heran film itu mendapat enam nominasi di Golden Globes 2018 dan dipilih sebagai Film Terbaik 2017 oleh National Board of Review. Time dan American Film Institute memasukkannya sebagai salah satu dari 10 Film Tahun Ini. Ia juga berjaya di Writers Guild of America.

Spielberg mengakhiri film itu dengan menarik: suara tegas Nixon-presiden yang menjadi topik utama dalam film tentang Skandal Watergate seperti All The President's Men dan yang terbaru Mark Felt-melarang reporter The Washington Post mendekati Gedung Putih.


Sementara suara itu terus bergaung, film itu mengingatkan sedikit soal Skandal Watergate-ditemukannya penyadap di kantor Partai Demokrat, yang kelak diketahui dipasang dan diprakarsai oleh Partai Republik yang kembali mengangkat Nixon sebagai Presiden AS. (rsa)

Let's block ads! (Why?)

baca dong https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20180223074348-220-278215/ulasan-film-the-post

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Ulasan Film: 'The Post'"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.