"Aku merasa seperti bulan. Begitu terang Tapi setelah beberapa saat terangnya memudar.... " demikian cuplikan kalimat dalam film Sekala Niskala (The Seen and Unseen) di Berlinale, festival film bergengsi internasional yang berlasung setiap tahunnya di ibukota Jerman, Berlin. Produser fim Sekala Niskala, Ifa Isfansyah menggambarkan: "Ketika premier film berlangsung di Zoo Palast, bioskopnya penuh penonton. Responnya bagus, film selesai diputar tepuk tangan serasa tak berhenti. Karena ini film untuk kalangan anak-anak dan remaja, banyak anak dan remaja yang datang dan komentar-komentar merekapun tulus dan jujur.”
Film Sekala Niskala berkisah tentang saudara kembar yang berusia 10 tahun, lelaki dan perempuan, bernama Tantra dan Tantri. Anak kembar laki dan perempuan di Bali menjadi symbol keseimbangan. Suatu ketika Tantra menderita sakit serius dan perlahan kehilangan kesadaran. Film ini mengungkap bagaimana beratnya seorang anak yang akan berpisah dengan saudara kembarnya yang meregang nyawa.
Ifa menceritakan salah satu aspek kelebihan film yang ia produksi: "Dalam film itu semua bahasa yang dipakai bahasa daerah, Bahasa Bali, dan semua pemainnya orang Bali dan lokasi syutingnya pun 100 persen di Bali.”
Retrospektif Technicolor di Berlinale
Kerinduan Sinema
Technicolor sebuah perusahaan AS yang didirikan 100 tahun lalu, mengembangkan beragam teknik pewarnaan film. Tahun 1930 Technicolor menjadi standar pewarnaan film dan menghasilkan sejumlah mahakarya dalam warna cemerlang. Film pertama yang menerapkan teknik 3 warna ini adalah film pendek "La Cucaracha" yang dibuat 1934.
Retrospektif Technicolor di Berlinale
Membuka Jalan Bersama Disney
Pada era 1930-an film animasi menyumbang kontribusi besar bagi sukses sistem Technicolor. Herbert T. Kalmus penemu teknik 3 warna itu bekerjasama dengan Walt Disney pencipta Mickey Mouse. Film animasi lebih gampang menerapkan teknik pewarnaan itu dibanding film dengan pelakon manusia. "Funny Little Bunnies" dari 1934 adalah salah satu tonggak sukses Technicolor dalam film animasi.
Retrospektif Technicolor di Berlinale
Warna Cemerlang
Film musikal "Wizard of Oz" buatan 1939 adalah salah satu puncak sukses Technicolor. Sutradara Victor Fleming dan King Vidor memanfaatkan warna sebagai elemen dramatik- dan penonton menyukainya. Berkat terobosan revolusioner para pionir film berwarna di belakang kamera, film-film dengan Technicolor biasanya jadi hit dan raih predikat Box Office.
Retrospektif Technicolor di Berlinale
Eropa Terpengaruh
Technicolor adalah penemuan Amerika dan juga mapan di negara itu. Tapi Hollywood juga berusaha berjejak di Eropa, dan industri film Inggris dengan cepat terimbas. Film fantasi "Thief of Bagdad" buatan 1940 dengan aktor Jerman Conrad Veidt sebagai mahapatih merupakan film Inggris terbaik yang menggunakan Technicolor.
Retrospektif Technicolor di Berlinale
Warna Melodramatis
Pertengahan 1940-an, film-film Technicolor merajai baik dari segi artistik maupun secara komersial. Bahkan hingga hari ini, warna cemerlang dari film melodramatis "Leave Her to Heaven" buatan 1945 yang dibintangi Gene Tierney masih tetap mempesona. Protagonisnya menonjol dalam taburan warna. Film ini sebetulnya termasuk genre "Film Noir" yang ironisnya jadi cemerlang berkat Technicolor.
Retrospektif Technicolor di Berlinale
Warna Surealis dan Dansa
Film musikal komedi "Yolanda and the Thief," buatan 1945 yang dibintangi Fred Astaire dan Lucille Bremer, sebetulnya disambut kurang antusias oleh penonton, karena tidak menyukai peran Astaire sebagai penjahat. Sekarang, adegan dansa selama 15 menit yang jadi sekuens andalan dalam film tersebut jadi legenda sebuah adegan sinematik yang surealis dalam warna dan gerak.
Retrospektif Technicolor di Berlinale
Pendar Warna dari India
"Black Narcissus" karya sutradara dan produser Inggris Michael Powell dan Emeric Pressburger dibuat 1947, mengisahkan sekelompok biarawati yang mendirikan sebuah rumah sakit di desa terisolasi di Himalaya. Sejatinya syuting seluruh film dilakukan di sebuah studio di London.
Retrospektif Technicolor di Berlinale
Nuansa Wild West
Film western "She Wore a Yellow Ribbon" buatan 1949 karya sutradara John Ford adalah salah satu film cowboy melankolis terbaik. Ford dan juru kameranya melakukan syuting di Monument Valley berbasis imaji yang dilukis Frederic Remington. Film menunjukkkan kontras batu pasir berwarna kemerahan dengan latar langit biru.
Retrospektif Technicolor di Berlinale
Kehijauan Hutan
Film "African Queen" buatan 1951 karya sutradara John Huston yang dibintangi Humphrey Bogart menjadi contoh paling impresif dari film petualangan dengan sistem Technicolor. Syuting film dilakukan di rimba Afrika, dan menghasilkan warna hijau hutan yang terus terpatri dalam ingatan para penonton.
Retrospektif Technicolor di Berlinale
Film Terakhir DenganTechnicolor
"Gentlemen Prefer Blondes," dari 1953 yang dibintangi Marilyn Monroe, menjadi salah satu film terakhir yang masih menggunakan Technicolor. Teknik warna yang lebih efektif datang dan kamera Technicolor tergeser. Yang kini tersisa adalah reproduksi film dengan sistem warna tersebut. Berlinale ke 65 tampilkan seksi retrospektif sebagai penghargaan pada era yang sudah lama lewat itu.
Penulis: Jochen Kürten (vas/vlz)
Lima tahun proses pembuatan
Ifa Isfansyah bekerjasama dengan dengan produser Gita Fara dalam memproduksi film ini. Naskah ditulis sendiri oleh sutradara film ini, Kamila Andini, yang juga ikut menjadi produser. Selain pemain film terkenal, Ayu Laksmi dan Happy Salma, pemain-pemain lainnya tak punya latar belakang bermain film. Turut bermain dalam film ini, Thaly Titi Kasih dan Gus Sena.
Menurut Ifa tidak ada hambatan berat dalam proses pembuatan film ini termasuk masalah faktor bahasa daerah dalam proses pembuatan film tersebut.”Kendalanya hanya pada waktu. Anak yang menjadi pemeran utama cepat tumbuh, dari 10 tahun sudah jadi 15 tahun, selama masa pembuatan film. Sehingga perlu ada pergantian pemain.”
Film yang digarap selama lima tahun ini mendapat beragam dukungan beberapa organisasi dari beberapa negara, seperti Hubert Bals Fund, Asia Pacific Screen Awards Children's Film Fund, Cinefondation La Residence, dan Doha Film Institute.
Film Istimewa "Boyhood"
Boyhood, Sebuah Film tentang Perkembangan Jadi Dewasa
Ini baru pertama dalam sejarah perfilman. Seorang sutradara mulai buat film dengan bintang yang masih kanak-kanak, terus membuatnya selama 12 tahun dan akhirnya memotong hingga hanya sepanjang satu setengah jam. Penonton bisa melihat bagaimana bintang film semakin tua, tanpa 'make up' atau trik lain. Yang jadi sorotan: Ellar Coltrane yang awalnya berusia enam tahun, dan dalam film bernama Mason.
Film Istimewa "Boyhood"
Penghargaan Beruang Perak
"Boyhood" dipetunjukkan pertama kali bulan Februari di Berlinale. Di akhir festival, sutradara Richard Linklater mendapat penghargaan Beruang Perak dari juri. Jika menuruti publik dan kritikus, film yang jadi eksperimen ini pasti mendapat Beruang Emas. "Boyhood" jadi film kesukaan di Berlin, dan sekarang mulai diputar di bioskop-bioskop.
Film Istimewa "Boyhood"
Orang Awam dan Pemain Film
"Boyhood" terutama film yang menyoroti proses Mason menjadi dewasa, dalam 12 tahun pembuatan film. Tetapi bukan ia saja, semua pemain juga bertambah umur. Demikian halnya dengan tokoh saudara perempuan Mason, yang dimainkan anak perempuan Linklater, Lorelei. Apakah mereka berdua akan jadi pemain film? Belum jelas.
Film Istimewa "Boyhood"
Keberhasilan Tim
Film Linklater juga jadi eksperimen berisiko tinggi selama masih di tahap produksi yang panjang. Selama itu tidak jelas, apa semua pemainnya akan tetap ikut dalam proyek ini, demikian Linklater dalam Berlinale. Tetapi baik pemain berusia muda, maupun pemain film profesional selalu bisa meluangkan waktu. Dalam jangka waktu panjang itu, setiap tahun mereka bertemu untuk membuat film selama sepekan.
Film Istimewa "Boyhood"
Anak-Anak - Masa Puber - Remaja
Penonton tergerak hatinya karena mengikuti proses berkembanganya Mason dari anak-anak menjadi remaja. Di sisi ibunya, yang dalam film dimainkan artis Patricia Arquette, Mason tumbuh dari anak yang pemalu dan tertutup menjadi pria muda, yang menemukan tempat dalam hidup.
Film Istimewa "Boyhood"
Film Visioner
Sutradara Linklater punya konsep dasar film ketika mulai membuatnya tahun 2002. "Konsep besar sudah ada sejak awal. Misalnya, skenario terakhir film sudah saya miliki di kepala, ketika baru memasuki tahun kedua", diceritakan sutradara asal AS itu. Tetapi alur ceritanya terbentuk dari tahu ke tahun.
Film Istimewa "Boyhood"
Penulis Kronik Penuh Perasaan
Walaupun "Boyhood" lain daripada yang lain dalam hal cara pembuatan, Linklater sudah kumpulkan pengalaman dari film jangka panjang. Pada foto tampak trilogi "Before Sunrise", "Before Sunset" dan "Before Midnight" (sebelum matahari terbit, matahari terbenam dan tengah malam). Dalam trilogi yang dimainkan Ethan Hawke dan Julie Delpy ini, ia juga ikuti hidup beberapa karakter selama beberapa tahun.
Film Istimewa "Boyhood"
Richard Linklater, Sutradara Lain daripada Yang Lain
Linklater mulai berkarir tahun 1991 dengan film berjudul "Slacker". Film itu tentang remaja yang hidup luntang-lantung, yang jadi simbol sebuah generasi. Di samping itu, ia juga pernah bekerja di Hollywood dengan film beranggaran besar. Tetapi ia selalu kembali melakukan proyek-proyek independen dengan biaya kecil. "Boyhood", yang mulai diputar di bioskop, adalah karya terbesarnya selama ini.
Penulis: Jochen Kürten
Baca juga:
Menggali Ilmu Film di Jerman
Merayakan Berlinale
Cara bertutur yang istimewa
Panitia festival film Berlinale menyampaikan langsung apresiasinya terhadap film ini. Dituturkan Ifa: "Ini film kedua Kamila Andini. Film pertamanya juga pernah diputar di Berlin. Jadi penting sekali bagi festival mengikuti jejak pembuat film. Kedua, jarang sekali ada film anak-anak yang cara bertuturnya seperti ini. Bisa dilihat perbedaannya jika dilihat filmnya, dimana cara bertururnya berbeda sekali, tidak seperti cara bertutur biasa. Saya rasa audiens festival di sini juga merasa sangat penting untuk bisa merasakan keberagaman film, terutama pada anak-anak dan remaja.”
Di Berlin, Ifa mengingat lagi, bagaimana proses diskusi ide ketika film ini baru akan dibuat beberapa tahun lalu: "Sebagai produser saya punya kesan pertama yang mendalam ketika sutradara menyampaikan idenya dulu atas film ini. Cara berpikir sangat kuat dan berbeda. Dan sangat susah sekali dalam cara bertutur dalam film. Butuh waktu cukup lama agar orang memahami seperti apa visi film ini. Film ini punya cara bertutur yang baru, bagaimana cara bercerita, menyampikan emosi, semua dengan cara baru, berbeda dengan film-film yang pernah ada."
Sekala Niskala ditayangkan di bioskop Indonesia pada bulan Maret 2018. Film besutan Kamila Andini ini tayang perdana di Toronto International Film Festival (TIFF) tahun 2017. Setelah itu, film ini juga diputar di festival-festival film lainnya, seperti di Jepang, dan memenangkan penghargaan seperti di Asian Pasific Screen Award, untuk kategori film remaja terbaik.
(Penulis:Ayu Purwaningsih/hp)
Berlin di Mata Reza Rahadian
Arsitektur
Berlin, kota yang indah. Dikatakan Reza saat ditanya pendapatnya mengenai ibukota Jerman ini. Menurutnya, salah satu keindahan Berlin adalah, kota ini berhasil memadukan bangunan-bangunan tua yang klasik dengan misalnya pertokoan-pertokoan baru yang modern.
Berlin di Mata Reza Rahadian
Warga
"Saya tidak bisa mengatakan kesan saya tentang warga Berlin," ungkap Reza. Memang sangat sulit untuk mengetahui, apakah orang-orang yang ditemui di jalanan kota merupakan warga Berlin atau bukan. Sekitar 3,5 juta orang, berasal dari berbagai negara, tinggal di Berlin. Ditambah lagi, setiap tahunnya, Berlin dipenuhi jutaan turis. Tahun 2015 lalu, sekitar 12 juta wisatawan mengunjungi kota ini.
Berlin di Mata Reza Rahadian
Tempat Favorit
Potsdamer Platz, wilayah yang berkembang sangat pesat setelah reunifikasii Jerman, menjadi tempat favorit pilihan Reza. Potsdamer Platz merupakan salah satu persimpangan jalan terpenting kota Berlin. Sampai akhir Perang Dunia II, Potsdamer Platz adalah persimpangan lalu lintas paling padat di Eropa, Di persimpangan ini jugalah pada tahun 1924 dibangun lampu lalulintas pertama di Eropa.
Berlin di Mata Reza Rahadian
Kuliner
Masakan Berlin dianggap tidak bervariasi dan lebih mementingkan pada kuantitas dari pada estetika, disajikan dalam porsi besar. Selama di Berlin, Reza belum menyempatkan diri untuk mencicipi makanan Berlin ataupun Jerman. Ia lebih memilih untuk pergi ke restoran Italia. Dan ini juga ternyata pilihan utama warga Jerman. Di Jerman, makanan Italia lah yang paling banyak disantap warga.
Berlin di Mata Reza Rahadian
Pengalaman
Ia adalah aktris yang diidolakan oleh banyak orang, juga oleh Reza. Meryl Streep, salah satu akrtis yang dianggap sebagai yang terbesar sepanjang masa, bagi Reza juga menjadi panutan. Berkesempatan bertatap muka dan sekilas berbincang dengannya merupakan pengalaman terindah dan paling berkesan di Berlin, bagaikan impian yang menjadi kenyataan.
Berlin di Mata Reza Rahadian
Tempat Wisata
Sebagai orang sineas, tidak heran jika Reza menyebut Museum Film di kota Potsdam sebagai objek wisata favoritnya. Museum yang resmi dibuka pada tahun 1981 ini merupakan salah satu dari enam museum film yang ada di Jerman. Di museum ini dipajang studio film tertua di dunia. Museum ini juga menyediakan arsip video dan perpustakaan, yang bisa dimanfaatkan untuk penelitian ilmiah.
Let's block ads! (Why?)
baca dong http://www.dw.com/id/film-indonesia-sekala-niskala-dapat-sambutan-hangat-di-berlinale/a-42674023
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Film Indonesia, Sekala Niskala Dapat Sambutan Hangat di Berlinale"
Posting Komentar