Ia memang sudah ditawari sejak 2015. Namun filmnya sempat mandek lantaran jadwal Mark Wahlberg, aktor besar Hollywood yang bakal bermain bersama Iko di film itu, bentrok dengan Transformers. Baru tahun lalu Iko syuting, dan Mile 22 tayang Agustus ini.
Penantian bertahun-tahun tak sia-sia. Meski baru pertama menjadi pemain utama dan beradu akting dengan artis-artis besar Hollywood, aksi Iko boleh dibilang semakin menjanjikan. Ia seakan tak ingin menyia-nyiakan kesempatannya mewakili Indonesia di Hollywood.
Bersanding dengan sejumlah bintang Hollywood tak membuat bintang The Raid itu tenggelam. Bisa dibilang Iko justru berhasil mencuri panggung dibanding pemeran utama lainnya.
Lihat saja tepuk tangan, elu-eluan dan histeria penggemar saat Iko promosi Mile 22 di Amerika Serikat beberapa waktu lalu. Ia bahkan selalu diikutkan wawancara media asing.
Ini sejalan dengan niat sutradara Peter Berg yang memang ingin menonjolkan Iko dalam filmnya. Ia bahkan mengatakan bahwa tujuan awal menggarap film itu adalah Iko. Namun hal itu juga yang tampaknya membuat Berg kemudian abai dengan aspek serta posisi pemeran lain.
Mereka seolah dibayang-bayangi karakter Iko.
Karakter lain jadi tampak membosankan. James Silva, yang diperankan Wahlberg dan seharusnya tampok menonjol, justru terasa cerewet, hingga terdengar menyebalkan dan membosankan. Dialognya terlalu monoton dan kurang unsur komedi.
Penggalian latar belakang karakter lain pun terasa nanggung. Agen Alice yang diperankan Lauren Cohan misalnya, diceritakan rela meninggalkan anaknya demi terlibat dalam misi itu. Bahkan, ia terancam tak dapat bertemu dengan putrinya kembali karena kehilangan hak asuh.
Sayang, gambaran itu tampak kurang kuat. Padahal jika ikatan emosinya dieksplorasi lebih dalam bisa menambah kuat cerita, meski tak terlalu berhubungan dengan alur utama.
Cerita besar Mile 22 adalah tentang penyelundupan seorang polisi sekaligus informan penting CIA dari sebuah negara fiktif bernama Indocarr City. Polisi bernama Li Noor itulah yang diperankan Iko. Ia 'mengkhianati' pemerintah yang disebutnya "jahat" dan memilih membongkar informasi penting pada CIA dengan satu syarat: bawa dirinya pergi dari situ.
Dibantu Silva, Alice dan timnya Noor diselundupkan dari Kedutaan Amerika Serikat negara itu ke pesawat yang sudah menantinya di bandara terdekat. Jarak antarkeduanya 22 mil.
Namun perjalanan ke sana sama sekali tak mulus. Sejumlah aral lintang dihadapi, termasuk dari pemerintah yang ingin merebut Li Noor kembali dengan melancarkan serangan demi serangan. Di satu sisi, itu semakin meyakinkan bahwa Li Noor sosok kunci berharga.
Mile 22 menarik karena menampilkan aksi laga ala Hollywood yang semakin kaya dengan silat khas Indonesia yang dibawa Iko. Tak perlu ditanya soal efek visual dan jalan cerita. Keduanya bisa dibilang mulus. Sayang, seakan ada beberapa aspek yang belum disampaikan.
Salah satunya pada adegan kejar-kejaran di sebuah apartemen. Adegan ini mirip dengan momen di film The Raid, hanya saja kehidupan yang digambarkan di sini agak kurang nyata.
'Mile 22' menggabungkan laga Hollywood dengan teknik silat khas Indonesia. (Dok. STX Entertainment)
|
Tak ada ancaman yang benar-benar seolah menghantui penghuni apartemen.
Tak ada evakuasi, penjagaan atau lainnya.
Kelak, bila benar Berg menjadikan cerita ini sebagai trilogi, diharapkan dua film selanjutnya dapat mengekplorasi poin-poin utama dari cerita, termasuk latar belakang beberapa karakter yang menjadi kunci dan lebih peduli soal detail.
Secara keseluruhan, film ini layak dinikmati, terutama dengan aksi Iko yang cukup memukau.
Mile 22 sudah dapat disaksikan di bioskop Indonesia mulai hari ini, Selasa (21/8). (rsa)
baca dong https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20180821172034-220-323987/ulasan-film-mile-22Bagikan Berita Ini
0 Response to "Ulasan Film: 'Mile 22'"
Posting Komentar