Search

Pemburu Kisah Film dari ”Benua Biru” - kompas.id

Pemutaran film di IIC itu merupakan bagian dari festival film Eropa, yakni Europe on Screen 2023. Europe on Screen 2023 memutar 73 film dari 24 negara di 17 tempat pemutaran dan 7 kota di Indonesia, yaitu Jakarta, Bandung, Bekasi, Denpasar, Medan, Surabaya, dan Yogyakarta.

Pertama kali festival diadakan pada 1990, disusul kedua kali 1999. Sejak 2003 Festival Film Uni Eropa diadakan setiap tahun di bawah nama Europe on Screen. Dengan usia lebih dari 20 tahun, festival yang berlangsung selama 10 hari dari 16-25 Juni 2023 itu menjadi rumah bagi penonton lama dan baru.

Setelah film selesai, Muazd bergegas ke menuju ruang kebudayaan GoetheHaus dengan berjalan kaki. Jarak antara IIC ke GoetheHaus hanya 1,5 kilometer. Di sana, ia menonton film Austria, Alma & Oskar.

Film yang ditayangkan di kedua tempat ini menghadirkan pengalaman berbeda. Film Alma & Oskar yang berlatarkan musim gugur berkisah tentang cinta antara sosialita bernama Alma Maher dan seniman Oskar Kokoschka. Kisah asmara sensual dalam film itu kontras dengan genre cerita komedi Last Dance yang ditonton Muazd di IIC. Namun, perbedaan itulah yang menjadi daya tarik festival film.

”Selalu ada pengalaman baru, baik dari ceritanya, sinematografi, juga pengalaman menonton itu sendiri,” kata Muazd.

Di Indonesia, ada beberapa festival yang menayangkan film-film dalam negeri atau mancanegara. Tahun lalu ada Festival Film Indonesia (FFI), Sundance Film Festival: Asia, Japanese Film Festival, dan World Cinema Week. Tahun ini ada Europe on Screen yang diputar di 7 kota.

Adegan dalam film First Snow Of Summer.
CHRISTOPH/EUROPE ON SCREEN

Adegan dalam film First Snow Of Summer.

Selama Europe on Screen, Muazd telah menonton Alma & Oskar, Last Dance, First Snow of Summer (Austria), Luxembourgh, Luxembourg (Ukraina), dan Somehwere Over the Chemtrails (Ceko). ”Sebenarnya ingin menonton empat film per hari, tetapi kadang tidak ada waktu,” katanya.

Pemburu film lainnya, Ayu Mutia (28) dari Fatmawati, Jakarta Selatan, menonton film di GoetheHaus dengan temannya, Cynthia Martha (28). Bagi Ayu, ini bukanlah pengalaman pertama menonton Europe on Screen. ”Aku pertama kali menonton festival ini pada 2016 setelah sempat absen beberapa kali baru tahun ini datang lagi,” kata pekerja marketing itu.

Ia suka menonton film-film Eropa karena ia bisa mempelajari kebudayaan dan tradisi negara-negara dari ”Benua Biru” itu. ”Ketika menonton film Somewhere Over the Chemtrails, aku jadi tahu oh kalau Ceko desanya seperti ini, kebudayaannya seperti ini. Selama ini, kan, kalau Eropa kita mengenalnya hanya Italia dan Perancis,” ujar Ayu.

Vania Narulita (34), penonton asal Jagakarsa, Jakarta Selatan, tak pernah ketinggalan menonton Europe on Screen sejak 2009. Ketika itu, ia masih duduk di bangku kuliah di Universitas Indonesia. Ketertarikannya berawal dari jurusan kuliahnya, Sastra Jerman.

”Kan belajar juga tentang filmnya ya. Dari situ, iseng aja pengin nonton. Tadinya, spesifik nyari yang berbahasa Jerman,” tutur Vania usai menyaksikan film Comedy Queen dari Swedia di GoetheHaus, Jakarta, Minggu (18/6).

Berbekal sinopsis, Vania memilih film yang hendak ditonton. Selanjutnya, ia baru memilih waktu yang sesuai. ”Kadang harus kecewa juga karena film yang pengin banget ditonton adanya di hari kerja dan jamnya siang. Kalau waktunya pas, bisa aku kejar semuanya,” ungkapnya sambil tertawa.

Baca juga: Angin segar untuk film Indonesia

Tahun ini, Vania menonton tiga hingga empat film dalam sehari di tempat yang berbeda. Hal ini dianggapnya sebagai apresiasi bagi diri sendiri pascapandemi sekaligus memuaskannya berburu film dari Eropa yang kini kian beragam dengan tema yang hangat.

Pada hari kedua festival, Sabtu (17/6), Vania mengincar film animasi dari Portugal yaitu My Grandfather’s Demons di GoetheHaus. Setelah menonton film itu, ia bergegas memesan ojek daring untuk membawanya ke IFI Thamrin di dekat pusat perbelanjaan Sarinah.

Meski tak terlalu jauh, ia khawatir terjebak macet akhir pekan. Ia ingin sampai sebelum loket pemesanan tiket dibuka agar sempat makan siang. Untuk semua pemutaran film, penonton baru bisa memesan tiket satu jam sebelum jam pemutaran berlangsung.

Targetnya tercapai. Ia pun menonton film Belgia berjudul I Have Electric Dreams yang bercerita tentang relasi ayah dan anak. Pada malam harinya, Vania kembali lagi ke GoetheHaus untuk menonton Somewhere Over the Chemtrails, film dari Ceko.

Adegan dalam film Esther's Orchestra.
EUROPE ON SCREEN

Adegan dalam film Esther's Orchestra.

Selain Vania, aktris Asmara Abigail (31) juga getol berburu film festival sejak 2010. Baginya Europe on Screen dan Madani Film Festival tak boleh terlewatkan. Bahkan jika bisa, ia akan hadir tiap hari untuk menonton. “Penginnya kalau festival gini, sehari nonton tiga film, tapi biasanya cuma dapat dua atau satu,” ujarnya usai menyaksikan film Esther’s Orchestra, Selasa (20/6).

Asmara tak segan menggali langsung makna narasi yang disuguhkan kepada pembuatnya pada sesi tanya jawab. Seusai pemutaran Esther’s Orchestra, ia bertanya kepada sutradara Sagmo mengenai bagaimana orang Denmark memproses kesedihan dan merespons kematian keluarga inti. Pada hari sebelumnya, ia juga mengikuti sesi bersama sutradara Marco Martani usai menyaksikan filmnya, She’s the One.

Dalam film Esther’s Orchestra, situasi yang digambarkan memang tidak lazim terjadi di Indonesia. Alih-alih menangis atau bersiap mempersiapkan pemakaman, suami Esther bergumul dengan dirinya mengenai cara yang tepat untuk mengabarkan kepada anak-anaknya bahwa ibu mereka, Esther, telah meninggal. Bahkan ketika anak-anaknya tahu, suami Esther tetap memberi ruang pada sang anak untuk tampil di pertunjukan tari sekolah dengan ditonton oleh dirinya, anak bungsunya, dan ayah Esther.

Baca juga: Film Tiger Stripes menang Grand Prize di Cannes

Sagmo menyadari ada perbedaan budaya yang cukup signifikan antara Denmark dan Indonesia dalam merespons kematian dan berduka dari pertanyaan yang dilontarkan Asmara.

Daya tarik film Eropa ini juga mendatangkan penonton baru seperti Astrid Cornelia (27). Pemutaran kali ini yang tersebar di 7 kota membuat Astrid berkesempatan untuk menyaksikan sejumlah film, seperti You Will Not Have My Hate dari Perancis dan Amusia dari Italia, di IFI Surabaya, Minggu.

Tak disangkanya, film yang ditontonnya cukup menggugah. ”Ternyata menarik. Awalnya pikir palingan biasa aja. Aku juga nonton ini karena diajak teman yang sebelumnya pernah nonton Europe on Screen,” jelas Astrid.

Perspektif baru

Penyelenggaraan Europe on Screen 2023 memberikan pengetahuan dan cara pandang baru bagi penonton Indonesia, terutama terkait isu-isu sosial, seperti isu identitas, rasisme, dan kelompok imigran.

Kenanga Sekar (25), karyawan di sebuah perusahaan rintisan, mengatakan, gara-gara menonton film Totem yang diputar di IFI-LIP Yogyakarta, Minggu, Sekar jadi memahami tantangan yang dihadapi oleh keluarga imigran di Belanda. Film ini juga telah mengubah cara pandangnya mengenai kehadiran imigran pada suatu negara.

”Selama ini aku menganggap imigran sebagai hal yang negatif, menyusahkan negara, dan terdiri dari orang-orang problematik, kasarannya ada stigma imigran sama dengan kriminalitas. Padahal, mereka adalah bagian dari masyarakat sedang berjuang dengan hidup ini,” ujarnya.

Adegan film Totem asal Belanda yang berkisah tentang keluarga imigran dan identitasnya.
EUROPE ON SCREEN

Adegan film Totem asal Belanda yang berkisah tentang keluarga imigran dan identitasnya.

Film Totem bercerita mengenai imigran berusia 11 tahun asal Senegal bernama Ama yang tinggal di Rotterdam, Belanda. Selama ini ia menganggap dirinya sebagai orang Belanda sepenuhnya. Hingga suatu hari, ia dan ayahnya dikejar-kejar polisi karena akan dideportasi ke Senegal. Ama dibantu oleh hewan spiritual berupa landak raksasa bernama Totem berusaha mencari suaka. Dalam proses pencarian itu, ia berhasil menemukan tak hanya komunitas yang mendukungnya, tetapi akar dirinya sendiri.

Regenerasi penonton

Festival Co-Director Europe on Screen 2023 Nauval Yazid mengatakan, mengingat usia Europe on Screen yang sudah menginjak 23 tahun, saatnya meregenerasi penonton. ”Tidak mungkin mengandalkan penonton lama,” ujarnya.

Oleh karena itu, Europe on Screen berusaha menggaet penonton-penonton baru sebagai bentuk regenerasi. Cara yang ditempuh untuk meregenerasi penonton adalah dengan membuat kompetisi Short Film Pitching Project yang diikuti oleh sineas-sineas muda. Festival ini juga menayangkan film-film animasi dan film drama dengan tema keluarga. Dengan begitu, orangtua bisa membiasakan anak-anak hadir di festival film.

Ia berusaha mempromosikan film-film yang diputar di Europe on Screen lewat media sosial. ”Dari Tiktok atau media sosial kami mempelajari penonton Indonesia suka film yang ringan dan menghibur, makanya kami juga menghadirkan film dengan tema komedi,” jelasnya.

Baca juga: Pertemuan kecap-kecap nomor satu

Baca juga: Fanatisme penggemar kecap

Adblock test (Why?)

baca dong https://news.google.com/rss/articles/CBMiUGh0dHBzOi8vd3d3LmtvbXBhcy5pZC9iYWNhL2hpYnVyYW4vMjAyMy8wNi8yNC9wZW1idXJ1LWtpc2FoLWZpbG0tZGFyaS1iZW51YS1iaXJ10gEA?oc=5

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Pemburu Kisah Film dari ”Benua Biru” - kompas.id"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.