Search

Lebaran: Mengapa film horor kembali mendominasi di libur Lebaran? - 'Film horor itu pelumas roda bisnis bioskop' - BBC.com

Film horor Siksa Kubur

Sumber gambar, Come and See Pictures

  • Penulis, Viriya Singgih
  • Peranan, BBC News Indonesia

Film horor kembali mendominasi bioskop di masa Lebaran 2024, mengikuti tren yang telah berlangsung sejak 2017. Dengan cerita yang kerap membingkai desa dan tradisi sebagai sumber ketakutan dan kekerasan, film horor dianggap ampuh menghimpun penonton di tengah momen kumpul keluarga dan derasnya perputaran uang selama libur hari raya.

Di hari Lebaran pada 10 April lalu, Cinema XXI sebagai jaringan bioskop terbesar di Indonesia menayangkan lima film lokal.

Empat di antaranya adalah film horor, yaitu Pemandi Jenazah dan Ronggeng Kematian yang telah diputar masing-masing sejak Februari dan Maret, serta Badarawuhi di Desa Penari dan Siksa Kubur yang tayang perdana pada 11 April.

Bahkan, satu film lainnya pun, Agak Laen, adalah film komedi dengan bumbu horor yang telah tayang sejak awal Februari lalu.

Selain itu, ada pula dua film horor asing, yaitu The First Omen dan Exhuma, serta satu film asing komedi dengan bumbu horor, yaitu Ghostbusters: Frozen Empire.

Sejak 2017, film horor memang tercatat sebagai genre yang terlaris di periode libur Lebaran. Pengecualian ada pada Lebaran 2020, saat bioskop masih tutup karena pandemi Covid-19.

Menurut catatan Litbang Kompas, film Jailangkung memiliki raihan penonton terbanyak saat libur Lebaran 2017. Total angka penontonnya menyentuh 2,5 juta orang.

Namun, itu tidak ada apa-apanya dibandingkan KKN di Desa Penari yang sukses menghimpun lebih dari 10 juta penonton setelah pertama tayang pada libur Lebaran 2022, menjadikannya film Indonesia terlaris sepanjang masa.

Saat libur Lebaran tahun lalu pun ada Sewu Dino, yang berhasil mendatangkan nyaris 4,9 juta penonton hingga akhir penayangannya.

Mengapa film horor begitu digandrungi saat Lebaran?

Menurut Adrian Jonathan Pasaribu, pendiri dan pemimpin redaksi media kritik dan kajian film Cinema Poetica, film horor bisa jadi adalah film dengan barrier to entry atau "hambatan masuk" paling rendah.

Maksudnya, seseorang bisa dengan mudah tertarik ke bioskop dan menonton film horor bahkan tanpa tahu latar belakang apa pun terkait filmnya.

"Film genre lain, menurut saya itu kayak menuntut pengetahuan tertentu soal background filmnya untuk memantik minat seseorang, baik ceritanya atau ketokohannya," kata Adrian.

"Horor tuh relatif lentur, dalam arti orang bisa masuk ke film horor mana pun, mungkin dalam lima sampai sepuluh menit pertama dia sudah tahu basic plot-nya. Dan, dia bisa mengantisipasi sensasi apa yang didapat. Di titik itu, akhirnya yang membedakan tinggal craftsmanship pembuat filmnya kan, atau budget."

Film horor Siksa Kubur.

Sumber gambar, Come and See Pictures

Karena itulah, tidak hanya saat libur Lebaran, film horor nyaris selalu bisa diandalkan untuk menarik penonton ke bioskop, termasuk saat periode krisis industri perfilman Indonesia di 2010-2011 dan di masa pandemi Covid-19, kata Adrian.

Sebagai konteks, jumlah penonton yang menyambangi bioskop sempat anjlok ke kisaran 16 juta per tahun pada 2010-2011, jauh dibandingkan angka 34,4 juta penonton pada 2008 dan 28,6 juta pada 2009. Ini membuat banyak produksi film saat itu tidak balik modal.

Adrian bilang, bahkan di masa sulit pun, film horor dengan anggaran relatif rendah bisa tetap mengambil untung dengan raihan puluhan atau bahkan ratusan ribu penonton.

"Film horor tuh jadi kayak fondasi atau pelumas roda bisnis bioskop," kata Adrian.

Dari sana, menayangkan film horor di periode Lebaran jadi sangat menggiurkan.

Baca juga:

Apalagi, kata Adrian, banyak orang pulang kampung ke kota-kota tier 2 dan 3 di masa libur hari raya, hingga aliran uang pun menyentuh ke sana.

Saat belanja hiburan masyarakat tengah tinggi, film horor menjadi opsi, terutama karena mulai maraknya bioskop di kota-kota tier 2 dan 3 tersebut.

"Jadi itu kayak kombinasi yang pas aja," kata Adrian.

"Saat orang-orang lagi spending gede-gedean, sekarang nih masa-masanya, terus mereka dapat produk yang tadi [film horor], yang barrier to entry-nya itu tidak besar."

Banyak orang memang ke bioskop untuk menghabiskan waktu bersama keluarga di saat mudik, kata pengamat perfilman Hikmat Darmawan.

Dan, katanya, film apa saja yang ada di bioskop saat itu kemungkinan besar akan ditonton. Alasannya karena banyak orang Indonesia ke bioskop karena ingin ke bioskop, bukan untuk menonton film tertentu.

"Apakah film yang ditonton bersama-sama keluarga itu harus film keluarga? Ternyata enggak," kata Hikmat.

"Jadi, dia tidak memilih genre-nya, tapi kan lebih ke momen pokoknya hari ini ke bioskop, apa pun yang ada di bioskop ya ditonton."

Kebetulan, saat ini film horor tengah kembali digandrungi, setelah sempat melalui titik jenuh beberapa tahun silam. Karena itulah film horor yang banyak beredar saat Lebaran.

Ilustrasi kumpul keluarga saat Lebaran.

Sumber gambar, Getty Images

Biasanya, kata Hikmat, yang mendominasi sinema dan mudah menarik hati penonton Indonesia tak akan jauh-jauh dari tiga genre: horor, melodrama, dan komedi.

Sepanjang sejarah, tiga genre ini kerap bergantian mendominasi perfilman.

Pada 1990an, misalnya, grup lawak Warkop rutin membuat dan menayangkan film komedi mereka setahun dua kali, masing-masing saat libur Lebaran dan akhir tahun, kata Hikmat.

Sementara itu menurut catatan Litbang Kompas, pada periode 2007-2016, film drama - termasuk bertema religi - kerap menjadi yang terlaris tiap kali libur Lebaran.

Di periode itu, bukan berarti film horor mati. Ia tetap ada dan meraih untung, sebelum menaiki "panggung utama" sejak 2017.

"Buat saya, horor sih akan selalu bisa diandalkan, dan kadang-kadang dia akan menikmati dominasi seperti sekarang, ganti-gantian bersama komedi dan melodrama," kata Hikmat.

Ilustrasi kuburan.

Sumber gambar, Getty Images

Kebangkitan kembali film horor

Adrian Jonathan Pasaribu dan Hikmat Darmawan sepakat bahwa titik balik naiknya kembali film horor Indonesia adalah kesuksesan film Pengabdi Setan karya sutradara Joko Anwar pada 2017.

"Saat itu orang-orang bicara, kalau horor 'diseriusin' jadinya begitu," kata Adrian.

Itu karena film horor, utamanya yang memiliki budget kecil, sebelumnya kerap mendapat stigma dibuat asal-asalan, katanya, meski banyak pula film horor yang sebenarnya memiliki nilai produksi tinggi atau digarap dengan serius.

Sementara itu, Pengabdi Setan berhasil menjadi perbincangan dengan raihan penonton menyentuh 4,2 juta pada 2017.

Hikmat mengatakan, dengan nilai produksi yang tinggi, film itu berhasil mendorong penonton kelas A dan B untuk menonton film horor di bioskop.

"Kalau soal production value kan, terutama di kelompok penonton kelas A sama B, jadi nggak 'hina' gitu untuk nonton horor," kata Hikmat.

Film horor Siksa Kubur.

Sumber gambar, Come and See Pictures

Menurut Adrian, kehadiran penonton kelas A membantu film horor terus menjadi perbincangan di media massa.

"Ada berapa kali sih film horor dibicarain, dan jadi trending topic di media massa? Yang seperti itu kan biasanya film-film horor yang palatable untuk kelas menengah," katanya.

Sebagai sutradara, Joko mengatakan Pengabdi Setan memang secara sadar dibuat untuk menjadi "standar baru film horor Indonesia".

Sebelum membuat film itu, ia sempat melakukan perjalanan mengelilingi beberapa negara Asia Tenggara, plus Korea Selatan, untuk menemui dan belajar langsung dari orang-orang film di sana.

Joko bilang, saat itu ia belajar banyak soal model penceritaan dan penokohan, sebelum menuangkannya dalam film Pengabdi Setan.

"Kalau menurut saya, [Pengabdi Setan bisa sukses] karena memang cara berceritanya dibikin se-accessible mungkin, dengan sensibilitas penonton zaman sekarang," kata Joko pada BBC News Indonesia, Jumat (12/4).

Ilustrasi hantu.

Sumber gambar, Getty Images

Pergeseran pola cerita

Film Jelangkung (2001) karya Jose Poernomo dan Rizal Mantovani kerap dianggap sebagai titik balik film horor Indonesia di abad ke-21.

Dengan waktu pengambilan gambar hanya dua minggu dan biaya total produksi sekitar Rp1 miliar, film ini bisa mendatangkan 1,5 juta penonton selama diputar di layar lebar. Bandingkan dengan Petualangan Sherina (2000) karya Riri Riza yang diperkirakan menghabiskan biaya Rp2 miliar dengan jumlah penonton kurang lebih sama.

Kesuksesan Jelangkung, yang berkisah soal empat sekawan asal Jakarta yang mencari penampakan setan hingga ke desa Angkerbatu, Jawa Barat, akhirnya memicu kehadiran banyak film horor dengan trope atau alat penceritaan serupa.

Tren uji nyali anak muda, misalnya, bisa ditemukan di film-film seperti Hantu (2007) karya Adrianto Sinaga, Pulau Hantu (2007) karya Jose Purnomo, dan Air Terjun Pengantin (2009) karya Rizal Mantovani.

Mungkin Anda tertarik:

Belakangan, trope-nya telah berubah.

"Sekarang, trope yang berulang lagi itu yang desa atau area rural dianggap sebagai lokasi yang menakutkan dan ritual-ritual di dalamnya dianggap sesuatu yang perlu dicurigai," kata Adrian Jonathan Pasaribu dari Cinema Poetica.

Selain itu, kata Adrian, karena menipis atau habisnya stok urban legend untuk dijadikan bahan cerita film horor, akhirnya muncul kisah-kisah fiktif yang dikemas menjadi mitos oleh para pengguna internet atau bahkan langsung oleh para pembuat film.

"Saya merasa tuh sekarang kayak film itu bagian dari lanskap media yang membentuk mitos baru itu," katanya.

Di luar itu, pembuat film pun belakangan kerap memberikan dimensi horor pada ritual keagamaan atau suku tertentu.

"Ritual yang sebenarnya biasa aja, sehari-hari, akhirnya jadi horor," kata Adrian.

Penonton berteriak dan ketakutan saat menonton film horor di bioskop.

Sumber gambar, Getty Images

Penggunaan ritual agama untuk film horor ini sempat memunculkan reaksi negatif dari sejumlah pengguna internet. Karena itu, kata Adrian, bisa jadi akan ada pergeseran trope kembali ke depannya.

Di sisi lain, sutradara Joko Anwar menilai trope adalah bahasa dalam film, dan tidak salah untuk menggunakan "bahasa" yang ada, tergantung kebutuhan naskah dan penokohannya.

Ia menekankan bahwa film berbeda dengan dunia nyata. Karena itu, bila seseorang digambarkan tidak baik di film, bukan berarti itu adalah usaha menjelekkan pihak tertentu, katanya.

"Trope itu bahasa, tapi kita harus menggunakannya sedemikian rupa sehingga ada gunanya buat penonton," kata Joko.

Yang pasti, perubahan pola cerita seperti apa pun, kata Adrian, tak akan menggugat posisi film horor di industri film Indonesia.

"Horor di kita tuh kayak musikal buat orang India kali ya," katanya.

"Genre-nya sendiri buat saya sih kayaknya bakal fine saja. Akan menurun mungkin iya, tapi nggak akan bener-bener ditinggalkan."

Adblock test (Why?)

baca dong https://news.google.com/rss/articles/CBMiM2h0dHBzOi8vd3d3LmJiYy5jb20vaW5kb25lc2lhL2FydGljbGVzL2MybGUwbjl5eTJxb9IBN2h0dHBzOi8vd3d3LmJiYy5jb20vaW5kb25lc2lhL2FydGljbGVzL2MybGUwbjl5eTJxby5hbXA?oc=5

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Lebaran: Mengapa film horor kembali mendominasi di libur Lebaran? - 'Film horor itu pelumas roda bisnis bioskop' - BBC.com"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.