Rumah Ames berjarak kurang lebih 20 menit dari tempat kejadian perkara. Usianya baru menginjak 23 tahun. Ia menapaki karier di industri film porno sejak 2013. Jenjang karier perempuan kelahiran Nova Scotia, Kanada, pada 23 Agustus 1994 itu tergolong stabil. Dari yang mulanya pemain amatir hingga akhirnya bekerja untuk produsen film esek-esek besar seperti Brazzers, Elegan Angel, Girlfriends Films, New Sensation, dan Sweetheart Video.
Ames dikenal berkat perannya di film-film dengan judul seperti Oil Overload 8 (2013), Big Wet Breasts (2013), Titty Attack 8 (2015), Don't Tell Hubby (2016), Dirty Talk 3 (2016), dan Naturally Delicious (2016). Performanya dalam total 270 film mengantarkannya meraih ajang penghargaan Adult Video News (AVN) sebanyak empat kali, termasuk tiga nominasi untuk kategori Female Perfomer of the Year.
Ia bahkan sempat bermain di film mainstream berjudul Model for Murder: The Centrefold Killer pada 2016. Namun, upaya Ames tak sesukses aktris porno lain seperti Sasha Grey, misalnya, yang membintangi The Girlfriend Experience (2009) yang disutradarai oleh Steven Soderberg atau Open Windows (2014) yang turut dibintangi Elijah Wood.
Awal Januari 2018 pagelaran AVN digelar yang kesekian kalinya. Ames turut diundang. Sayang, kematian mendahuluinya. Dalam catatan Newsweek, Ames menderita perisakan yang parah di media sosial setelah dirinya menolak syuting dengan aktor lelaki gay. Ia menolak atas alasan kesehatan sebab kehidupan seks pribadi si aktor tak jelas.
Kehati-hatian ini tergolong wajar di kalangan aktris-aktor porno. Namun, warganet terlanjur menuduh Ames menderita homofobia. Banjir kecaman datang paling banyak di Twitter, tak lama usai Ames menjelaskan penolakan plus alasannya. Ada yang membela Ames, tapi jumlahnya terlampau sedikit dibanding mereka yang sudah terbakar amarah. Tekanannya terlalu besar, dan Ames tak mampu lagi menahannya.
Kasus Ames membuka kembali diskursus mengenai kesehatan mental bintang porno sepanjang menjalani kariernya. Apalagi setelah ditemukan fakta, mengutip New York Daily News, bahwa Ames punya rekam jejak depresi bipolar dan gangguan kepribadian ganda. Ia mengalaminya sejak kecil dan masih sering tersiksa dengan munculnya trauma saat dewasa.
Merujuk laporan Independent, dua bulan sebelum bunuh diri, Ames muncul dalam acara Holly Randall Unfiltered. Dalam wawancara panjang tersebut Ames mengungkapkan pelecehan seksual yang dialaminya sejak remaja. Di usia 15 tahun ia sering ditawari kokain oleh seorang pria yang anaknya dijaga Ames. Syaratnya Ames harus mau menari telanjang. Lingkungan, dengan demikian mendorong Ames untuk mengonsumsi narkoba, plus minuman keras, yang dipakai untuk melarikan diri dari depresi.
Sayang, saat menginjak dewasa dan mencoba menyembuhkan trauma serta depresi lewat terapi, ia justru membenci segala prosesnya. Sang terapis, kata Ames, sering menghakimi profesi Ames. “Mereka malah berpikiran 'oh itu tuh alasannya kamu menjadi dirimu sekarang', lalu aku tambah depresi,” katanya.
Kekerasan dalam beragam bentuk adalah cerita lawas dalam industri porno. Pada 2010 AVN melakukan analisis terhadap 50 film porno yang paling banyak dikonsumsi. Sebagaimana dikutip The Herald, hasilnya menunjukkan bahwa mayoritas adegannya mengandung unsur kekerasan baik fisik maupun verbal kepada aktrisnya.
Agresi fisik, termasuk menampar dan memaksa oral hingga tersedak, terjadi di 88 persen adegan di video. Sementara agresi dalam bentuk verbal, semisal memanggil nama si aktris dengan sebutan 'perempuan jalang' atau 'pelacur', ditemukan di 50 persen adegan. Peneliti menyimpulkan 90 persen adegan mengandung setidaknya satu tindakan agresif baik fisik maupun verbal.
Collectives Shout, gerakan kampanye akar rumput untuk melawan kekerasan dan objektivikasi perempuan, pernah mengumpulkan sejumlah testimoni dari aktris porno yang menjadi korban kekerasan saat syuting.
Ada yang dipukul wajahnya oleh seorang pemain yang suka sadomasokisme. Ada yang digilir hingga si aktris tak berdaya, luka-luka, sakit luar biasa saat kencing, dan tak mampu jalan usai menjalani adegan. Ada yang dipukuli tongkat selama setengah jam dan menciptakan bekas luka permanen. Ada yang dicekik sehingga tak bisa bernapas dengan normal selama syuting, dipaksa seks anal, dan situasi lain yang dikategorikan sebagai pemerkosaan.
Ada yang mengaku siap dengan adegan-adegan yang kasar, tapi tak menyangka akan terlalu brutal hingga ia sendiri tersiksa. Ada yang berjalan tanpa persetujuan (consent), tapi ketika si aktris protes, tak ada yang menggubris. Ada yang sampai teriak-teriak ke sutradara dan kru lain agar syuting dihentikan, tapi prosesnya berjalan terus.
Aktris lain melaporkan lingkungan kerja dipenuhi oleh kultur mengonsumsi obat-obatan terlarang (ganja, kokain, dan sebagainya). Pemain awam jarang untuk tidak tergoda mencobanya, lalu akhirnya ikut kecanduan. Perusahaan-perusahaan besar dan kenamaan amat mempedulikan kesehatan aktrisnya, tapi di korporasi amatir mereka amat rentan terkena penyakit seksual menular.
Pada akhirnya itu semua melahirkan depresi, trauma, hingga keinginan untuk bunuh diri. Beberapa ada yang pernah mencoba mengakhiri hidup, tapi gagal. Lainnya mengakhiri karier usai positif terkena HIV/AIDS, kanker rahim, atau penyakit seksual yang tak bisa disembuhkan.
Memang ada opsi untuk keluar. Namun, masih merujuk pada narasi-narasi yang dikumpulkan Collectives Shout, mereka tak tahu bagaimana caranya. Jika pun bisa, apa yang akan dilakukan setelahnya?
Pandangan orang-orang awam tentang profesi bintang porno masih cenderung negatif. Hal ini menjadi salah satu faktor mengapa lapangan pekerjaan untuk pensiunan aktris porno menyempit. Tak semua aktris bisa seperti Maria Ozawa atau Sasha Grey yang bisa keluar dari perfilman porno lalu sukses di industri layar lebar.
Laporan Rolling Stone pertengahan Januari kemarin mengisahkan seorang pensiunan aktris film porno bernama Jewels Jade. Ia kini tinggal di Chicago. Pernah pada suatu hari di lokasi syuting, Jade diikat di belakang sebuah truk sampah. Kondisinya amat tak manusiawi dan Jade dipaksa untuk melakukan adegan penyiksaan tersebut. Akhir cerita, ia kena trauma yang berkepanjangan.
“Aku hanya ingin ditembak di kepala saat itu. Sepanjang perjalanan pulang aku menangis hebat dan menghubungi suamiku. Aku merasa tak mampu berbuat apa-apa lagi,” ungkapnya.
“Dan ini terjadi pada banyak perempuan. Mereka pergi ke lokasi syuting sembari diliputi rasa takut karena adegan-adegan ekstrem itu lah yang diinginkan para penggemar, dan di sana benar-benar ada orang sakit yang menginginkan beberapa hal bejat. Mereka pikir gadis-gadis ini akan sembuh, dan saya tak pernah pulih.”
Adegan yang dilakoni Jade memang jadi yang paling banyak ditonton orang-orang. Jika Jade menolak, tamatlah kariernya. Itu ancaman yang menjadi makanan sehari-hari. Jade termasuk yang percaya bahwa tangan para produsen dan sutradara film porno turut berlumur darah dalam kasus-kasus bunuh diri atau kematian tak wajar aktrisnya. Mereka tak peduli sebab, prioritas nomor satu adalah apa yang disenangi konsumen selaku penyumbang laba.
Jade menambahkan bahwa gadis-gadis itu datang ke industri porno dengan harga diri (self-esteem) yang rendah. Mereka sebelumnya perempuan normal yang tak pernah diperhatikan lingkungan sekitar, sehingga salah satu motivasi utama mereka masuk ke industri film porno adalah untuk mendapatkan perhatian itu.
“Tiba-tiba mereka punya penggemar. Orang-orang menggoda mereka, mereka merasa cantik dan tentu saja semakin populer dan terkenal,” kata Jade. Tetapi, lanjutnya, “kau tak bisa mendapatkan pekerjaan normal (usai pensiun). Semakin kau populer, orang-orang semakin tak tertarik untuk menggaetmu. Kau terjebak.”
Dampaknya tak hanya untuk pelaku di dalam industri, tapi juga ke orang-orang di luar. Gail Dines adalah peneliti pornografi kawakan yang pernah menulis buku “Pornland: How Porn Has Hijacked Our Sexuality”. Di dalamnya Dines menyatakan bahwa konten pornografi kerap dijadikan rujukan oleh generasi muda untuk beraktivitas seksual bersama pasangan dan kekerasan dalam film porno kemudian gampang ditiru oleh penonton muda.
Kekerasan berubah jadi candu sekaligus selera, sehingga mendorong naiknya permintaan terhadap film porno berkonten kekerasan seksual. Menurut Dines, bahkan pelaku industri porno terkejut dengan tingginya permintaan tersebut. Di sisi lain, konsumen awal pornografi makin muda usianya. Dari hasil riset Dines, semakin muda seseorang terpapar pornografi, semakin bermasalah ia dalam membangun kehidupan intim bersama perempuan sungguhan.
"Saya tidak mengatakan bahwa seorang pria yang mengonsumsi konten porno akan pergi keluar untuk memperkosa orang,” kata Dines sebagaimana dikutip Guardian. “Tapi yang saya tahu adalah bahwa pornografi memberi izin kepada konsumennya untuk memperlakukan perempuan sebagaimana perempuan diperlakukan dalam film porno."
"Semakin sering pornografi mempertontonkan kekerasan terhadap perempuan, perilaku seksual yang kasar akan semakin terlihat normal sekaligus terlegitimasi.”
===========================================================================
Jika Anda merasakan tendensi untuk melakukan bunuh diri, atau melihat teman atau kerabat yang memperlihatkan tendensi tersebut, amat disarankan untuk menghubungi dan berdiskusi dengan pihak terkait, seperti psikolog atau psikiater maupun klinik kesehatan jiwa. Salah satu yang bisa dihubungi adalah Into the Light yang dapat memberikan rujukan ke profesional terdekat (bukan psikoterapi/ layanan psikofarmaka) di [email protected]
Baca juga
artikel terkait
BINTANG FILM PORNO
atau
tulisan menarik lainnya
Akhmad Muawal Hasan
(tirto.id - awa/win) </b>
baca dong https://tirto.id/di-balik-bunuh-diri-august-ames-ada-kekejaman-industri-film-porno-cEaSBagikan Berita Ini
0 Response to "Di Balik Bunuh Diri August Ames Ada Kekejaman Industri Film Porno"
Posting Komentar