Dalam film terakhirnya Ready Player One, Steven Spielberg melesat ke Abad 21. Itu merupakan "sesuatu yang mempesona" tulis, Nicholas Barber.
Film fiksi ilmiah aksi-petualangan dari Steven Spielberg, Ready Player One, berlatar di dunia nyata dan realitas virtual; jadi tak heran jika dua tokohnya membicarakan perbedaan antara kedua dunia.
Yang luar biasa adalah tokoh-tokoh tersebut berdiskusi di tengah-tengah adu tembak sengit dalam diskotek tanpa gravitasi – tapi entah bagaimana Anda tetap dapat mengikuti argumen mereka maupun jalannya pertempuran.
Sungguh mempesona. Belakangan ini, generasi baru sutradara telah membuat penghormatan pada film-film populer Spielberg (misalnya dalam Super 8, Jurassic World, dan Stranger Things); namun Ready Player One membuktikan dengan pasti bahwa tak ada yang bisa meniru Spielberg selain Spielberg.
Selain Spielberg, tak ada yang lebih berempati dengan anak Amerika dari keluarga yang broken home. Tak ada orang selain Spielberg yang menjejali adegan dengan begitu banyak informasi, atau runtunan aksi yang rumit dengan begitu banyak energi, sambil memastikan Anda selalu tahu apa yang sedang terjadi dan kenapa.
Dan Spielberg tak hanya bersaing dengan para penirunya dan dirinya sendiri di tahun 1980-an. Ia melesat ke Abad 21.
Seiring alur cerita filmnya yang spektakuler berjalan bolak-balik antara distopia kumuh ala George Orwell dan dunia mimpi yang diciptakan oleh komputer, ia menjajal wilayah yang dikuasai Terry Gilliam, James Cameron, Christopher Nolan, dan Wachowski bersaudara, juga sutradara The Lego Movie. Ia tak sekadar menjejakkan kakinya, tapi juga menunjukkan kalau wilayah ini memang miliknya sejak dulu.
Diangkat dari novel laris karya Ernest Cline, dengan naskah yang ditulis oleh Cline dan Zak Penn, Ready Player One berlatar di tahun 2045. Sang jagoan yang yatim-piatu, Wade (Tye Sheridan), tinggal di kompleks perumahan kumuh yang karut-marut bernama The Stacks, tempat bangunan pencakar langit tersusun dari rumah-rumah kontainer yang ditumpuk dan disangga dengan menggunakan rangka.
Latar ini biasanya cukup untuk kebanyakan film, tapi tak lama kemudian Wade mengenakan helm dan sarung tangan realitas virtual (VR) dan 'menyeberang' ke OASIS, suatu game bermain peran online.
Tampaknya banyak orang menghabiskan sebagian besar waktu mereka dalam permainan ini. Kondisi Amerika di tahun 2045 begitu buruk sehingga masuk ke dunia fantasi digital tempat Anda bisa hidup dalam setiap film yang pernah Anda tonton adalah keputusan yang masuk akal.
Pada kesempatan pertama menonton, saya menemukan King Kong, monster dari Alien, mobil DeLorean dari Back to the Future, dan boks telepon/mesin waktu Tardis dari Doctor Who, Tyrannosaurus dari Jurassic Park (sesama film Spielberg), dan sekitar 50 ikon budaya pop lainnya. Tapi film ini mengajak Anda untuk menontonnya berulang kali, dengan tombol jeda, sampai Anda menemukan semua referensinya. Setiap adegan bagaikan permainan 'Where's Wally?' bagi para pengunjung konvensi komik.
Adalah hal yang wajar, ketika orang berada di OASIS, mereka cenderung memilih avatar yang lebih langsing, tinggi, dan umumnya kurang manusiawi dari wujud asli mereka. Wade menjadi alien ganteng berkulit biru-putih bernama Parzival, dan punya kawan-kawan antara lain cewek anime Art3mis (Olivia Cooke) dan cyborg raksasa Aech (Lena Waith); mereka belum pernah bertemu di dunia nyata.
Mereka menikmati sensasi virtual memanjat Gunung Everest, mengunjungi casino di stasiun ruang angkasa, menembak musuh dengan senapan mesin, dan balapan di jalanan kota Manhattan dengan mobil canggih; tapi mereka juga punya misi spesifik yang harus dituntaskan.
OASIS, kita kemudian diberi tahu, dirancang oleh seorang jenius yang rapuh, James Halliday (Mark Rylance), dan rekan bisnisnya, Ogden Morrow (Simon Pegg). Halliday meninggal dunia, tapi ia meninggalkan 'Easter egg' di OASIS: siapapun yang bisa menyelesaikan tiga tantangan di dalam game berhak menguasai seluruh perusahaannya yang bernilai triliunan dolar.
Nolan Sorrento (Ben Mendelsohn), bos dari perusahaan saingan, mengerahkan seluruh sumber dayanya untuk memecahkan teka-teki Halliday, dibantu oleh anak buahnya yang seram tapi juga kekanak-kanakan bernama i-R0k (TJ Miller) – seorang troll di dunia maya, secara harfiah. Tapi pengetahuan kutu buku Wade/Parzival dan kawan-kawannya membuat mereka lebih unggul. Apapun kata orang tua mereka, menghabiskan masa kecil di depan layar sebenarnya persiapan yang bagus masa depan.
Premis yang rumit tapi bisa dimengerti ini berarti, sebagian besar dari Ready Player One diisi dengan adegan Wade bermain video game: pada salah satu level, kita menyaksikan Wade bermain video game di dalam video game. Tapi Spielberg dan timnya bisa meyakinkan kita untuk mempedulikan apa yang terjadi, baik di dalam OASIS maupun di dunia nyata.
Meskipun sang protagonis pada dasarnya adalah tokoh kartun yang dibuat dengan CGI, meluncur dari satu planet artifisial ke planet artifisial lainnya dengan kecepatan tinggi, film ini membuat pernyataan menarik tentang iklan korporasi, internet, dan hasrat manusia untuk tampak lebih besar dan lebih baik dari sebenarnya: avatar Sorrento bahkan mirip dengan Superman.
Beberapa penonton mungkin akan dibuat bosan dengan narasi yang terpisah dari realitas selama bagian besar durasi. Tapi tidak sulit meyakini bahwa pada suatu hari nanti kita semua akan berada dalam game seperti OASIS – mungkin jauh lebih awal dari tahun 2045.
Meski begitu, Ready Player One membuat saya merasa sedikit kasihan pada anak-anak muda zaman sekarang, karena mereka begitu jarang menyaksikan film fantasi baru yang tidak merujuk film-film lama. Dulu, Anda tak perlu melalui semacam ujian kutu buku untuk menikmati Back to the Future, sementara film-film Star Wars dan Marvel sekarang berasumsi penonton telah memiliki pengetahuan mendalam tentang berbagai film, serial televisi, video game, buku, dan komik.
Tapi saya pikir Spielberg menyadari betapa memusingkannya pesta nostalgia seperti ini. Meski bernama OASIS, dunia itu bukanlah tempat yang damai dan tenang melainkan berantakan dan melelahkan.
Lagipula jika ada film yang bisa secara terbuka menunjukkan kekacauannya adalah Ready Player One, yang jelas dimaksudkan sebagai perayaan besar-besaran akan budaya fanboy dan fangirl. Jika budaya pop memakan dirinya sendiri, maka Ready Player One adalah kenduri besar-besaran.
Anda juga bisa berarguman bahwa Spielberg adalah pelopor referensi semacam ini. Saya masih ingat menonton ET: The Extra-Terrestrial ketika pertama kali dirilis, dan terkejut ketika ET menemukan seorang anak yang mengenakan kostum Yoda (dari Star Wars) saat Halloween. Bagaimana bisa satu film fiksi ilmiah blockbuster membuat lelucon tentang film fiksi ilmiah blockbuster lain? Saya, yang waktu itu masih muda, pun takjub.
Tiga puluh lima tahun kemudian, Spielberg membuat saya, yang sudah tidak begitu muda lagi, kembali merasa takjub.
Anda dapat membaca versi bahasa Inggris artikel ini, Film review: Ready Player One, di BBC Culture.
baca dong http://www.bbc.com/indonesia/vert-cul-43531098Bagikan Berita Ini
0 Response to "Film Ready Player One, tak ada yang bisa meniru Steven Spielberg"
Posting Komentar