Search

Ulasan Film: 'Bohemian Rhapsody'

Jakarta, CNN Indonesia -- Di dunia ini, saya selalu percaya ada orang-orang yang memang ditakdirkan untuk jadi berbeda - David Bowie, Bob Marley, juga Freddie Mercury di antaranya. Seolah mereka diberi kesempatan menjalani hidup yang luar biasa, agar kelak bisa diceritakan turun-temurun.

'Bohemian Rhapsody' bertutur tentang Queen, band Inggris yang lagunya masih diputar dan dinyanyikan sampai hari ini. We Will Rock You, Love of My Life, sampai We Are The Champions, masing-masing untuk kesempatan berbeda.

Menonton 'Bohemian Rhapsody' yang menceritakan sedikit tentang latar belakang Freddie Mercury, terlahir dengan nama Farrokh Bulsara dan berdarah Persia, cukup menjelaskan mengapa ia ingin mengubah nama.

Mercury adalah sosok kontradiktif. Ia sangat percaya diri, namun di saat bersamaan juga rapuh, tak merasa aman dengan dirinya sendiri. Ia tahu kemampuannya dan yang ia mau.

Rasa percaya diri itu salah satunya muncul kala dirinya berjalan menghampiri Brian May (Gwilym Lee) dan Roger Taylor (Ben Hardy) dengan berani setelah menonton Smile. Ia unjuk gigi di depan mereka dan melenggang pergi setelahnya. Begitu yakin May dan Taylor membutuhkannya.

Namun ia pun terduduk sendiri di belakang piano setelah kehebohan pesta di rumahnya yang mewah, seperti anak kecil yang kebingungan ketika terpisah dengan ibunya.

Panggung adalah rumah bagi Mercury. Ia terlahir untuk menjadi penampil, tahu persis apa yang harus dilakukan di depan audiens dan menikmati saat dipuja.

Rami Malek (Freddie Mercury) berperan dengan amat baik dalam film ini. Ia dikabarkan membutuhkan pelatih khusus untuk mempelajari gerak Mercury.

Hal itu jadi keputusan yang tepat karena Mercury dikenal flamboyan semasa hidupnya. Artinya, harus ada kesesuaian gerak yang bisa memberi alasan tentang mantel bulu pilihan Mercury. Untungnya, itu berhasil dilakukan Malek.

Aksi Rami Malek menjadi Freddie Mercury kala muda. Aksi Rami Malek menjadi Freddie Mercury kala muda. (dok. 20th Century Fox)

'Bohemian Rhapsody' memilih menampilkan Queen dalam durasi tertentu. Sedikit penjelasan di sana-sini, seperti waktu Mercury bergabung dengan Smile, ketika Queen bertemu manajer pertama, John Reid (Aidan Gillen) dan saat menjalani tur Amerika pertama - yang berarti jalan sudah terbuka lebar dan popularitas telah digenggam.

Terfokus pada sosok Mercury yang kesepian, frasa 'band adalah keluarga' yang beberapa kali disebutkan dalam dialog terasa bagai pelipur belaka.

Hanya ada beberapa adegan yang menunjukkan para personel berkumpul dan bersikap seperti teman yang sesungguhnya. Tidak terasa kedekatan emosional antar-personel.

Begitu pula dengan si adik, Kashmira Bulsara (Priya Blackburn). Ia tampaknya sudah mendukung apa pun keputusan sang kakak tanpa diminta, termasuk tersenyum penuh sayang ketika Mercury mengakui orientasi seksualnya dengan mengajak Jim Hutton (Aaron McCusker) menemui keluarga Bulsara.


Beda rasanya kala melihat Queen di dalam studio. Bagian ini amat mengedukasi, menunjukkan proses rekaman lagu di masa serba-analog. Pengulangan berkali-kali, inspirasi yang datang tiba-tiba, berbagai eksperimen harus dilakukan secara manual, serta 'ancaman' harga pita rekaman yang mahal, memberi gambaran mengapa lagu-lagu era dahulu terasa punya 'rasa' lebih. Lagi pula, selalu menyenangkan melihat sebuah lagu diwujudkan dalam bentuk utuh.

Fesyen menjadi poin penting dan menyenangkan lainnya dalam film ini. Mercury punya selera sangat baik, menunjukkan ia siap menjadi pusat perhatian setiap waktu, atau betapa ia ingin dipandang.

Kisah antara Mercury dan Mary Austin (Lucy Boynton) yang dipuncaki di bawah hujan mengajari secara dramatis bahwa cinta tak selalu manis.

Adegan Mercury memandangi jendela kamar Austin yang gelap seperti kepahitan yang indah, meski tak mengalahkan rasa kala ia bertemu seorang penggemar di lorong rumah sakit setelah mendapati dirinya divonis mengidap HIV/AIDS.

Stadion Wembley, 13 Juli 1985. Faktanya, Live Aid menjadi konser yang mengubah dunia, dan penampilan Queen saat itu diakui sebagai salah satu yang terbaik sepanjang sejarah.

[Gambas:Youtube]

Film ini ditutup sesuai standar, ribuan orang bernyanyi bersama dan orang-orang terdekat Mercury berdiri berdekatan di atas panggung, nyaris sempurna.

'Bohemian Rhapsody' berhasil menggambarkan figur Mercury sebagai seorang ikon pop, meski tak sampai pada alasan mengapa musik Queen bisa sangat berpengaruh sampai hari ini.

Film ini lintas-generasi, membuat para orangtua duduk bersama anak mereka di dalam bioskop, tidak dipisahkan oleh perangkat selular, dan sangat mungkin memberi hari yang indah.

Freddie Mercury adalah manusia biasa yang hanya berusaha menjadi dirinya sendiri. Jika pada akhirnya ia harus menyerah oleh sakitnya, bukan berarti ia kalah.

Ia menjalani hidup persis seperti perkataannya dalam film, "Aku memenuhi takdirku," dan ia menjadi legenda. Tak mengherankan bila Malek kemudian memilih menyimpan properti gigi palsu Mercury. (end)

Let's block ads! (Why?)

baca dong https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20181104015211-220-343802/ulasan-film-bohemian-rhapsody

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Ulasan Film: 'Bohemian Rhapsody'"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.