Hanum masih ingat jelas ketika sang anak terus bertanya, saat film yang penuh adegan kekerasan ini diputar.
"Keluarga kebanyakan memilih diam, tapi ada juga yang jawab pertanyaan (anak tersebut) tapi seadanya," katanya saat dihubungi CNNIndonesia.com lewat pesan singkat, Senin (23/7).
Kala ia mendatangi petugas penjualan tiket, rupanya dirinya tak sendirian. Ada beberapa orang yang melayangkan protes serupa. Namun sang petugas berkata bahwa orang tua memaksakan untuk menonton film bersama anak mereka.
"Sangat disayangkan, ini bentuk keegoisan orang tua, mereka enggak peduli, mereka enggak tahu efek jangka panjang yang bakal dialami sama anak ini," katanya.
Menanggapi kegelisahan beberapa orang terkait kasus tersebut, psikolog anak Monica Sulistiawati, mengatakan menonton film atau tayangan yang tidak sesuai dengan usia dalam jangka panjang akan memberikan dampak pada anak.
Secara garis besar, Monica menjelaskan ada dua dampak besar yang bakal dialami anak yakni dampak pada area kognitif dan pada perilaku.
Menurutnya film atau tayangan yang tidak atau belum sesuai dengan taraf kematangan kognitif anak, akan menyebabkan anak bingung terkait konten yang ia tonton. Akibatnya, rasa ingin tahu anak memuncak.
"Anak dapat saja terdorong untuk memenuhi rasa ingin tahunya dan jika tidak ada yang mendampingi, anak dapat memperoleh pemahaman yang keliru," ujarnya.
Kemudian dampak pada perilaku, ia melanjutkan, kebingungan dan rasa ingin tahu mendorong anak untuk mencoba melakukan tindakan berdasarkan informasi yang ia peroleh dari film atau tayangan yang ditonton.
Monica memberikan contoh adegan ciuman bibir pada aktor dan aktris film. Adegan ini, ia melanjutkan, tentu tidak untuk ditirukan anak-anak.
"Jika anak memperoleh konsekuensi positif, misal ditertawakan atau disoraki oleh teman-teman lain, (kemudian) dianggap hebat & jagoan. Perilaku keliru ini dapat terus-menerus diulangi dan akhirnya menjadi kebiasaan yang keliru," katanya.
Lebih lanjut lagi, ia berkata, perilaku yang keliru akan berkembang menjadi kebiasaan jika dibiarkan.
Kebiasaan yang bertahan dapat tumbuh menjadi bagian dari kepribadian. Monica menambahkan kebiasaan yang salah, membuat anak tumbuh dengan kepribadian negatif.
Peran orang tua
Orang tua yang menjadi sosok terdekat anak, seharusnya menjadi tameng anak terhadap film atau tayangan yang tak sesuai.
Namun jika anak terlanjur menyaksikan adegan atau film yang tak sesuai dengan usianya, maka Monica menyarankan orang tua untuk menggali pikiran anak.
"Bagaimana pandangannya, pemahamannya, tanggapan anak, juga menggali perasaannya. Jika ada pikiran atau perasaan yang salah tentang tayangan yang baru dilihat harus segera dikoreksi," katanya.
Ia memberikan contoh anak melihat adegan pembunuhan tapi anak berpendapat bahwa adegan tersebut seru, anak merasa bersemangat atau senang maka orang tua sebaiknya tidak membiarkan.
Bagi orang tua yang ingin mengajak anak menonton film atau memilihkan tayangan yang pas, Monica memberikan beberapa kiat.
Orang tua, ia melanjutkan, perlu memerhatikan dan patuh terhadap kategori usia yang disarankan sebelum mengajak atau membiarkan anak menonton.
Selain itu, sebelum mengajak anak menonton carilah sinopsis atau tinjauan film tersebut.
"Untuk film-film box office, tidak perlu menjadi yang pertama menonton film. Film bagus tidak akan habis dalam 1-2 minggu. Tunggu sampai ada pembahasan tentang film tersebut baru putuskan apakah akan menyertakan anak atau tidak," ucapnya. (agr)
baca dong https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20180723171327-282-316354/bahaya-menonton-film-dewasa-di-bioskop-bagi-anakBagikan Berita Ini
0 Response to "Bahaya Menonton Film Dewasa di Bioskop bagi Anak"
Posting Komentar