Istilah "new normal" tak berlaku merata di dunia. Agaknya terdengar pincang ketika kondisi Indonesia sendiri belum benar-benar stabil menghadapi Covid-19 dengan kenormalan baru.
Juni nanti, diberitakan 64 mal kawasan Jakarta akan dibuka. Namun, tidak untuk beberapa kategori seperti salon, permainan anak, dan salah satunya bioskop. Pun jika dibuka, bagaimana nasib bioskop?
Click to Expose
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Andi Boediman, Chief Executive Officer Ideosource Entertainment memberi sedikit gambaran jika bioskop kembali dibuka dalam topik "How the Film Industry is Planning Its Return" bersama @disrupto.id.
Beberapa faktor penentu mulai dari penonton, kondisi bioskop, hingga film-film Indonesia yang bakal rilis. Diasumsikan calon penonton dengan ekonomi mumpuni harus diberi jaminan film bagus dan keselamatan saat menonton.
"Artinya dari mereka. Mereka jadi punya pilihan saya akan ke bioskop atau tidak. Kalau saya ke bioskop, theater, filmnya benar-benar kasih saya benefit dan protokol kesehatannya dapat. Kalau enggak, mendingan saya enggak mau ambil risiko," kata Andi Boediman, tempo hari.
Dihubungi di kesempatan berbeda, pengamat film Indonesia, Hikmat Darmawan memiliki pendapat tak jauh berbeda soal fasilitas bioskop di "new normal". Menurutnya, pengusaha dalam industri ini perlu memerhatikan keamanan penonton.
"Dari sudut pandang pengusaha, dia harus memerhitungkan perasaan aman dari konsumen. Mereka percaya atau enggak percaya ada virus, percaya virus ini berbahaya atau enggak, at least harus menampakkan kesiapan prosedur kesehatan," ujarnya saat dihubungi Medcom.id melalui sambungan telepon, Rabu, 27 Mei 2020.
Andi Boediman pun berpendapat, film-film Indonesia meledak karena menargetkan penonton remaja. Sementara itu, diasumsikan tidak semua remaja memiliki kemampuan atau memprioritaskan uang saku untuk menonton film.
Belum lagi jika penonton yang terdampak Covid-19 seperti terkena PHK dan ekonomi menurun. Dana prioritas akan digunakan untuk membeli bahan pokok ketimbang ke bioskop. Sehingga, penonton bioskop diprediksi berkurang.
"Kita punya asumsi pasar film akhir tahun ini sulit bertahan. Menurut saya setidaknya akan ada pengurangan dari market, setidaknya sampai 50 persen. Misal 50 persen saja sudah bagus. Artinya marketnya sudah sustain. Itu yang terjadi dari sisi kacamata penonton," kata Andi.
Faktor lain menyoal film-film blockbuster Hollywood yang berpindah tayang ke akhir tahun. Pendapatan film blockbuster lebih menjanjikan bagi para pemilik bioskop. Kemungkinan bakal ada perebutan layar dengan film-film Indonesia.
Streaming Jadi Alternatif, Panen Penonton
Adanya pandemi Covid-19 otomatis memantapkan behaviour penonton di ruang pribadi dengan streaming video on demand (svod) atau dikenal istilah layanan over-the-top (OTT). Tak perlu menunggu jadwal rilis, penonton memiliki bank film yang dapat ditonton dengan mode custom di mana saja.
Ibarat penonton mengalokasikan dana transportasi menuju bioskop, kini digunakan untuk biaya paket langganan streaming. Penonton tinggal menggulir layar ponsel untuk berpindah dari satu aplikasi ke aplikasi lain.
Contohnya layanan streaming video lokal, Vidio mengalami peningkatan 5 juta kali pengguna aktif pada April 2020. Dalam siaran pers yang diterima Medcom.id, Vidio mengalami peningkatan pada jumlah pengguna aktif per bulan mencapai 62 juta.
Selain Vidio, pemain streaming dari Indonesia ada GoPlay, Genflix, Mola TV, MAXstream (Telkomsel), dan Klik Film. Lalu dari luar ada iFlix, VIU, Catchplay, Netflix, Amazon Prime Video, dan HBO. Dengan karakteristik masing-masing, penonton tinggal memilih konten mana yang ingin disaksikan.
Sebagai gambaran, VIU unggul dalam bank koleksi drama Korea. Iflix menyediakan konten-konten Asia juga tak jarang ditemui dengan sulih bahasa melayu. Lalu Netflix dengan konten original series dan film Hollywood.
Vidio pun memiliki peluang besar meraih penonton. Sebab, sejumlah siaran televisi ikut ditayangkan bersama film-film lawas Indonesia yang kini susah ditemukan.
Dengan karakteristik ini, masing-masing pemain streaming berlomba menjangkau calon pengguna dan pengguna aktif. Selain tawaran promo, mereka membidik penonton dengan konten lokal.
Netflix misalnya kini tak sekadar menayangkan konten Hollywood. Sejumlah film box office Indonesia, Korea, dan konten bernuansa lokal ditayangkan untuk lebih dekat dengan penonton Indonesia. Tentunya, jaringan internasional Netflix menggiurkan bagi para sineas Indonesia.
Pandemi Covid-19 secara tak sengaja menjadi musim baik bagi para pemain OTT berkonten tayangan. Pada April 2020, sejumlah OTT memberikan paket gratis selama sebulan untuk menjadi sarana hiburan murah di tengah pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Peningkatan masif penggunaan OTT selaras dengan penggunaan data seluler. Dalam siaran pers yang diterima Medcom.id, Mei 2020, provider Tri Indonesia (3) mencatat ada peningkatan 193 persen di tujuh layanan streaming film premium yakni Netflix, Iflix, VIU, Amazon Prime Video, Klik Film, DrakorID, dan Vidio.
Menurut pandangan Hikmat Darmawan, investasi OTT sejak 2-3 tahun belakangan meningkat khususnya di Indonesia. Penonton bioskop Indonesia pun meningkat saat itu dan mencetak prestasi 15 film dengan perolehan di atas 1 juta penonton pada tahun lalu. Memang untuk tahun ini OTT bakal panen banyak.
"Apakah permanen? Dengan situasi bioskop harus mengurangi misalnya jumlah kursi penonton (di tengah pandemi), berarti pola konsumsi melalui OTT memang akan tetap meningkat," kata Hikmat Darmawan.
Di samping itu, penonton juga diuntungkan dengan tontonan-tontonan berkualitas rilisan lama di OTT. Sebut saja drama Korea Reply 1988 yang sejatinya rilis 2015 di tvN, koleksi Warkop DKI, Catatan Si Boy, dan film-film Indonesia yang kini jarang ditemui bisa disaksikan melalui layanan streaming.
Drive-in Cinema: Solusi atau Mempertebal Kesenjangan?
Situasi "new normal" ikut menghadirkan agenda nostalgia di sektor hiburan. Drive-in Cinema rencananya kembali dihadirkan menjadi bioskop alternatif selama PSBB.
Ergo & Co menginisiasi drive-in cinema di Jakarta bekerja sama dengan Flash Communications. Dalam wawancara bersama Medcom.id tempo hari, Founder Ergo & Co Adam Hadziq menargetkan program drive-in cinema digelar pada Juni 2020 secara temporer di satu sudut kawasan Jakarta.
Beberapa regulasi awal yang ditetapkan yaitu penumpang sejumlah separuh dari kapasitas jenis kendaraan roda empat yang digunakan, mesin tetap menyala, dan audio menggunakan antara bluetooth speaker atau frekuensi radio.
Nantinya, tarif tiket dikenakan untuk perseorangan dan kendaraan yang digunakan. Di Indonesia, tren drive-in cinema pernah dilakukan oleh Ciputra pada 1970 di kawasan Pantai Binaria yang kini dikenal sebagai Ancol Jakarta.
Jika dibandingkan dengan biaya menonton di bioskop, mungkin akan lebih menguras kantong. Sebab, selain dikenakan dua kali bayar (penonton dan kendaraan), mobil dan lampu kabin tetap dalam keadaan menyala.
Hikmat Darmawan berpendapat, drive-in sulit menjadi alternatif bagi semua kalangan. Karena dengan prosedur yang ditetapkan, target penonton jelas menyasar kaum elitis. Nostalgia ini mengulang perihal kesenjangan lama.
"Sebetulnya kalau di ruangan terbuka itu tidak harus bentuknya drive-in karena drive-in itu jatuhnya hiburan menjadi sangat mahal. Harus mobil kalaupun enggak punya mobil pakai taksi, artinya argo jalan terus. Itu terjadi kesenjangan lagi yang sudah mulai digeser," tutur Hikmat Darmawan.
Hikmat melanjutkan, penonton Indonesia zaman dulu sudah terseleksi hiburannya ketika bioskop hadir berada di lingkungan mal. Selain tak mudah dijangkau, harga tiket pun tak bersahabat.
Di samping drive-in, alternatif lain yang sebetulnya bisa menjangkau seluruh masyarakat yakni layar tancap. Hanya saja, berbicara soal target pasar Jakarta tampaknya mustahil terjadi.
"Jarang ada yang bicara tentang layar tancap sekarang. Orang tahu-tahu bicara soal drive-in. Fine, disebut alternatif, tapi kalau cuma itu alternatifnya, kok alternatifnya begitu banget, ya," kata Hikmat.
Antusiasme tinggi sebenarnya hanya disambut di kawasan Jakarta saja. Memang, di kawasan daerah lebih banyak lahan yang dapat digunakan untuk drive-in, tetapi bukan behaviour beberapa daerah menghabiskan uang untuk fasilitas menonton seperti itu. Hiburan di Indonesia perlu merata baik di ibu kota maupun daerah.
"Buat saya walaupun itu sebuah opsi yang patut diangkat tapi buat saya ini cerminan kelanjutan dari paradigma industri hiburan kita, perfilman yang masih belum memikirkan akses menonton bagi kebanyakan orag di Jakarta terutama di daerah non-Jakarta atau non-Jawa," terang Hikmat.
"Dunia sedang berubah tapi struktur ekonominya minimal dalam hal paradigma tidak berubah. Orang masih pikir Jakarta saja konsumennya kelas menengah ke atas. Padahal ini sebenarnya kesempatan," kata Hikmat Darmawan.
Berkaca dari situasi ini, perlu diperbanyak bioskop di luar mal. Jika industri bioskop terus bergantung pada mal di situasi pandemi ini, OTT diprediksi tetap berjaya dalam dua tahun mendatang.
"Akhirnya pola konsumsi utama dalam dua tahun ke depan berarti OTT untuk film. Sebagai catatan tambahan, karena pola konsumsi berubah, menurut saya estetika akan berubah. Susah lagi bikin film dengan epic crowd," kata Hikmat Darmawan.
"New Normal" atau kenormalan baru berarti berdamai dengan keadaan, menormalkan yang terjadi terlepas pandangan dominan benar atau salah.
Ibarat mengendarai sepeda motor, dulu tak memakai helm, memasuki gedung bertingkat tanpa pelacakan di pintu masuk. Kini, semua orang diwajibkan mengenakan masker di manapun berada untuk berwaspada.
(ASA) baca dong https://www.medcom.id/hiburan/montase/0KvXZ1pb-siapkah-industri-film-indonesia-menyongsong-new-normal
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Siapkah Industri Film Indonesia Menyongsong New Normal - Medcom ID"
Posting Komentar