Search

Film "Bird Box", "A Quiet Place", dan Ancaman Eksistensi dari Dunia Maya Halaman all - KOMPAS.com

HOLLYWOOD punya berbagai cara untuk menggambarkan akhir keberadaan manusia, sebutlah itu kiamat, end of the world, apocalypse, armageddon, dan lain sebagainya.

Kita pernah disuguhkan akhir dunia, atau nyaris berakhir, melalui dahsyatnya bencana alam dalam berbagai film. Misalnya, dunia yang beku akibat pemanasan global dalam The Day After Tomorrow (2004), hantaman komet dalam Deep Impact (1998) dan Armageddon (1998), atau bencana geologi terbesar dalam 2012 (2012).

Bermacam film juga memperlihatkan dunia yang porak poranda setelah mengalami "pasca-kiamat" atau post-apocalytic akibat virus berbahaya. Cerita ini digambarkan dalam 28 Weeks Later (2007), The Maze Runner (2014), juga Rise of the Planet of the Apes (2011) sebagai prolog sebelum dunia dikuasai para kera.

Seakan tak puas dengan bencana alam dan virus, Hollywood pun menghadirkan makhluk luar angkasa yang berpotensi memusnahkan manusia, seperti Independence Day (1996) dan War of the Worlds (1953/2005).

Namun, dua film yang tayang pada 2018 memperlihatkan ramuan baru mengenai akhir dunia: Ancaman kepunahan manusia akibat kemampuan inderanya. Dua film itu adalah Bird Box dan A Quiet Place.

Kesamaan cerita

Bird Box merupakan film yang terbilang masih hangat untuk dibicarakan. Film yang disutradarai Sussane Bier ini menjadi andalan layanan streaming Netflix untuk disuguhkan kepada penggunanya.

Dalam tujuh hari, film ini ditonton oleh lebih dari 45 juta akun pengguna Netflix. Angka ini menjadi catatan terbaik untuk film orisinal besutan Netflix.

Plot cerita Bird Box juga terbilang mudah dipahami. Film mengambil sudut pandang dari karakter bernama Malorie (Sandra Bullock), perempuan yang sedang hamil saat kekacauan melanda dunia.

Tiba-tiba banyak orang yang bertingkah gila, yang kemudian melakukan sesuatu yang membuat mereka bunuh diri. Ada yang menjedotkan kepala, ada yang membiarkan dirinya ditabrak truk besar, ada juga yang menembakkan kepalanya dengan senjata api.

Tak butuh waktu lama bagi Malorie dan para survivor memahami bahwa kegilaan ini disebabkan oleh sesuatu yang dilihat. Karena itu, satu-satunya cara untuk selamat hanya dengan tak melihat "the creature", sesuatu yang ada di luar sana yang menyebabkan kegilaan.

Tentu saja tak ada yang bisa bertahan di satu rumah atau satu tempat untuk selamanya, karena stok makanan berkurang.

Untuk selamat, mereka harus mencari makanan atau tempat yang memiliki banyak stok makanan dengan cara menutup mata.

Perjuangan makin sulit bagi Malorie saat dia juga harus membimbing untuk dua anaknya: Untuk selamat tanpa melihat.

Emily Blunt dan Millicent Simmonds berakting dalam A Quiet Place (2018).Paramount Pictures Emily Blunt dan Millicent Simmonds berakting dalam A Quiet Place (2018).
Sedikit sama, A Quiet Place menceritakan tentang keluarga Abbott. Sang ayah bernama Lee (John Krasinski), ibu bernama Evelyn (Emily Blunt), anak perempuan bernama Regan (Millicent Simmonds), dan anak lelaki bernama Marcus (Noah Jupe).

Mereka harus bertahan hidup dari serangan makhluk misterius yang sangat sensitif terhadap suara. Makhluk itu akan datang dan membunuh manusia jika terdengar suara berisik, bahkan sekadar obrolan.

Mereka dapat bertahan hidup dengan berkomunikasi melalui bahasa isyarat, yang telah dikuasai karena Regan memang tak bisa berbicara.

Namun, trauma dan penyesalan membayangi kehidupan mereka setelah kehilangan anak bungsu, adik bagi Regan dan Marcus, yang bernama Beau (Cade Woodward). Makhluk itu menyerang dan membunuh Beau dalam adegan pembuka yang menegangkan.

Tanpa netra, tanpa suara

Bird Box dan A Quiet Place tak cuma sukses secara komersial, dua film ini juga mendapat apresiasi yang baik dari kritikus film.

Secara khusus, pujian diberikan kepada A Quiet Place yang menggambarkan ketegangan layaknya film horor, jalinan cerita yang bikin penasaran seperti thriller, hingga kesedihan dan kehangatan yang umumnya ada dalam film keluarga.

Kritikus juga memaknai dua film ini dari sisi perjuangan orangtua dalam membesarkan anak. Sungguh memang maha sulit untuk menerapkan prinsip parenting secara benar kepada anak selagi bertahan hidup. 

Sebuah film bisa saja menggambarkan cerita yang sederhana. Namun, mengutip sastrawan Pramoedya Ananta Toer, hal yang sederhana tafsirnya bisa luar biasa. Pun untuk dua film ini.

Secara sederhana, Bird Box dan A Quiet Place mengisahkan cara manusia mempertahankan eksistensinya, tetapi harus dilakukan tanpa netra, tanpa suara.

Hal ini tentu tak mudah, sebab melihat dan berbicara merupakan insting dasar manusia. Saat Tuhan mengajarkan manusia "nama-nama", bisa jadi saat itu juga manusia mulai menerapkan nalurinya untuk berbicara, juga untuk menanggapi sesuatu yang dilihatnya.

Akan tetapi, agama mengajarkan manusia untuk berbuat baik. Penerapan berbuat baik itu tentunya dengan menjaga lisan, menjaga penglihatan, dan pendengaran.

Relief yang menceritakan tiga monyet bijak di kuil Nikko Toshogu di Nikko, Jepang.MICHAEL MAGGS via CREATIVE COMMONS Relief yang menceritakan tiga monyet bijak di kuil Nikko Toshogu di Nikko, Jepang.
Peradaban kuno mengenal kisah "tiga monyet bijak" dengan simbol menutup mata, menutup telinga, dan menutup mulut. See no evil, hear no evil, speak no evil.

Kebudayaan Jepang mengenal tiga monyet itu sebagai Mizaru (menutup mata), Kikazaru (menutup telinga), dan Iwazaru (menutup mulut). Relief ketiga monyet ini terpahat dalam kuil Nikko Toshogu di Nikko, yang berasal dari abad ke-17.    

Dengan demikian, Bird Box terlihat menjadi representasi see no evil. Sedangkan, A Quiet Place menggambarkan speak no evil. Mungkin tak butuh lama hingga akhirnya Hollywood menghadirkan film bertema hear no evil.

Ancaman eksistensi di dunia maya

Tak lama setelah menonton Bird Box, cobalah untuk menjelajahi dunia maya, terutama berbagai media sosial yang kita ikuti. Saat itu, kita akan melihat betapa "kacaunya" dunia.

Banyak orang yang seperti tak memiliki empati. Kabar bohong atau hoaks dengan mudahnya tersebar tanpa proses verifikasi. Fitnah pun dapat tersebar tanpa jelas arah.

Kondisi ini diperparah dengan polaritas masyarakat yang terbelah akibat pilihan politik, terutama sejak Pemilu Presiden 2014.

Anehnya, tingkah satu kubu seperti menjadi cermin yang juga dilakukan kubu pesaingnya. Misalnya, jika kubu A membawa isu politik agama, maka kubu B juga melakukannya.

Bahkan perang tagar menjijikkan juga terlihat di Twitter, dengan isu yang mempertanyakan kemampuan baca kitab suci para capres atau capres A atau B shalat Jumat di mana.

Sedangkan, tak pernah ada adu gagasan atau membedah visi dan misi secara substansi, yang bisa jadi memang tak dimiliki kedua kubu.

Ilustrasi media sosialTHINKSTOCKS/IPOPBA Ilustrasi media sosial
Namun, polaritas ini tak sepenuhnya tercipta karena aksi manusia semata. Peran mesin dan algoritma di dunia maya pun dapat memecah warga dunia maya dalam kubu yang berbeda.

Jika seseorang kerap menulis, me-like, atau mengomentari post tentang capres A, maka dia akan terus-terusan disuguhkan post yang meneguhkan cintanya terhadap capres A, sekaligus menebalkan kebenciannya kepada capres B.

Sejumlah ahli ada yang menyebutnya sebagai filter bubble. Ada juga yang menyebutnya sebagai echo chamber. Saya pernah menulis proses itu secara lebih detail dalam tulisan ini: Film Room, Langkah Awal Memahami Logika Haters/Lovers

Saya memahami bahwa Bird Box merupakan sebuah film yang diadaptasi dari buku dengan judul yang sama, yang dirilis pada 2014. Namun, kisah dalam buku itu seperti menggambarkan kondisi saat ini.

Kembali lagi dalam mengutip Pramoedya, kisah yang sederhana memang tafsirnya bisa luar biasa. Maka saya menafsirkan bahwa Bird Box seperti mengajarkan kita untuk "menutup mata" terhadap berbagai kegilaan yang ada di dunia maya.

Sebab, "membuka mata" hanya membuat kita menghadapi kemungkinan. Pertama, tentu saja akan berujung mencelakakan diri.

Kemungkinan kedua, menjadi delusi dan memandang bahwa semua yang kita percaya adalah kebenaran tunggal. Dan kita akan terus melihat keindahan, meski sebatas realitas palsu yang diciptakan dalam pengaruh "the creature".

Sedangkan, A Quiet Place mengajarkan kita untuk diam. Bisa jadi, ucapan yang kita lisankan menjadi sumber kebisingan yang memancing hadirnya "monster" yang menjadi ancaman.

Lalu bagaimana cara agar dunia maya tak mengancam eksistensi umat manusia?

Berabad-abad lalu, Nabi Muhammad pernah mengajarkan rumus yang pada dasarnya sederhana, meski praktiknya sulit dilakukan: Berkatalah yang baik (juga berbuat baik), atau diam.


Let's block ads! (Why?)

baca dong https://nasional.kompas.com/read/2019/01/16/06500091/film-bird-box-a-quiet-place-dan-ancaman-eksistensi-dari-dunia-maya?page=all

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Film "Bird Box", "A Quiet Place", dan Ancaman Eksistensi dari Dunia Maya Halaman all - KOMPAS.com"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.