“Ghost movies are entertainment, narratives, cultural events, and they have a life beyond the screen.” (Peter J. Braunlein)
—
CAPAIAN film Perempuan Tanah Jahanam (PTJ) yang menembus seleksi Oscar 2021 tentu layak diapresiasi. Film horor besutan Joko Anwar yang diberi judul internasional Impetigore itu juga meraih penghargaan di Bucheon International Fantastic Film Festival (BIFAN) 2020, diputar di Sundance Film Festival 2020 di Amerika, serta mendapat 17 nominasi dalam Piala Citra 2020. Apa yang menarik dari PTJ sehingga membuatnya meraih apresiasi sedemikian rupa?
Sepintas, tidak ada yang istimewa dari PTJ. Pakem penceritaan masih berkitar tentang warga kota yang pergi ke desa dan menemukan segala kengerian, ketakutan, serta merasakan keberjarakan antara nilai-nilai kota dan desa. Namun, apabila dicermati lebih dalam, ada beberapa hal yang menarik didiskusikan.
Apabila film horor di Indonesia identik dengan visual hantu yang ’’teramat menyeramkan’’: wajah rusak, tubuh yang sungsang, kuku dan taring tajam, serta bentuk-bentuk teror visual yang intimidatif dan vulgar, tidak demikian dengan PTJ. Dalam film berdurasi hampir dua jam itu, visual hantu digambarkan secara ’’wajar’’. Bahkan bisa dikatakan intensitas dan frekuensi kemunculan hantu-hantu itu bukan sesuatu yang dominan. Namun, tetap saja ada beberapa ’’terapi kejut’’ atau jump scare yang mengentak tiap kali ’’yang astral’’ itu muncul.
Alih-alih visualisasi hantu, keseraman dalam PTJ lebih dibangun secara intens dari kode-kode sinematik lain dan aspek diskursifnya. Set dan properti, misalnya, dimainkan begitu rupa sehingga tidak hanya bersifat instrumental, tapi juga metaforis: pohon-pohon tua berusia ratusan tahun, pondok-pondok kayu, jimat gulungan dluang beraksara Jawa kuno yang menjadi susuk, wayang kulit, dan lain-lain. Sebagai metafora, visualisasi tersebut hadir sebagai tanda dari sesuatu yang lain. Pada tahap inilah PTJ, juga semua film, perlu dibaca sebagai praktik diskursif. PTJ boleh jadi menarik dan mendapat banyak apresiasi justru karena diskursus di dalamnya.
Diskursus
Sebagai bagian dari praktik diskursif, sulit untuk tidak menafsir PTJ sedang menghadirkan/menegaskan kembali diskursus tentang keterpencilan, ketertinggalan, dan kegelapan yang masih diidap masyarakat Indonesia, khususnya di pedesaan. Bagi sebagian penonton yang berasal dari dalam negeri, mungkin hal tersebut tak terlalu spesial. Namun, bagi publik mancanegara, maknanya bisa jadi sangat lain. Dalam buku Ghost Movies in Southeast Asia and Beyond, Peter J. Braunlein (2016) menyebut ’’…in the Western academia the topic of ghosts and spirits invariably invokes debates about modernity, reason and unreason, belief and knowledge, religion and science, ’we’ and ’other’.’’ Dalam hal ini, boleh jadi seakan menghangatkan kembali diskusi tentang representasi masyarakat ’’Timur’’ yang sering digambarkan oleh ’’Barat’’sebagai masyarakat yang irasional, mistis, tradisional, atau bahkan masih setengah barbar. Beberapa adegan dalam PTJ, misalnya, hadir sebagai bagian dari kepercayaan pada kutukan di mana konsep penebusan dan tumbal digambarkan masih melekati laku masyarakatnya.
Selain itu, PTJ sangat ’’berani’’mengungkap sisi lain dari seni pertunjukan wayang kulit yang selama ini dianggap seni adiluhung dan telah ditetapkan sebagai World Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity oleh UNESCO sekaligus ’’mengganggu’’ stereotipe sosok dalang yang sering dipahami sebagai ahli ngudal piwulang (memberi ajaran) yang mulia. Adalah suatu ide yang out of the box ketika bahan untuk membuat wayang kulit, dalam film itu, dikisahkan berasal dari kulit anak-anak yang sebelumnya dibunuh sebagai perjanjian antara salah satu tokoh dalang dan iblis. Meskipun narasi tentang tumbal tidak hanya ada di film horor ’’Timur’’, PTJ menarik didiskusikan dalam konteks relasi silang dan saling pandang antara we dan other tersebut.
Lebih jauh, pada aspek religion dan belief, tidak ada sosok yang bisa dibaca sebagai representasi agama dalam PTJ. Apabila dalam Pengabdi Setan (2017) pemuka agama masih dihadirkan untuk ’’dikalahkan’’ oleh yang astral, Joko Anwar benar-benar mengeksklusinya dalam PTJ. Quirine van Heeren (2019) dalam buku Jiwa Reformasi dan Hantu Masa Lalu: Sinema Indonesia Pasca Orde Baru pernah menyebut bahwa absennya agama/pemuka agama sebagai hero merupakan salah satu penanda pergeseran konvensi dan pandangan dalam film horor bioskop di era reformasi, yang berbeda dengan horor era Orde Baru. Beberapa film seperti Danur (2017), Sebelum Iblis Menjemput (2018), dan Kafir (2018) menunjukkan kecenderungan yang sama. Menariknya, di saat film-film horor Hollywood kontemporer masih memunculkan sosok dan penanda agama, baik sebagai hero maupun latar, seperti The Nun (2018), The Possession (2012), dan The Conjuring, film horor Indonesia kini cenderung beranjak menghilangkannya.
Baca juga:
PTJ memunculkan perempuan sebagai subjek yang relatif otonom dan jauh dari kesan erotis seperti yang kerap muncul dalam film horor lainnya. Seluruh tokoh perempuan dalam PTJ digambarkan sebagai perempuan yang lebih luwes dan ’’merdeka’’ dalam bertindak. Meskipun perempuan tetap digambarkan menjadi sumber permasalahan/konflik yang menggerakkan cerita, adegan atau visual yang menghadirkan kemolekan tubuh perempuan nyaris tidak ada. Sebaliknya, perempuan dalam film itu digambarkan sangat sadar dan bebas memosisikan diri serta tubuhnya.
Pada akhirnya, semakin berkembang dan kompetitifnya genre film horor Indonesia bisa jadi adalah penanda dari betapa horor dan jahanamnya realitas hidup sehari-hari yang dijalani. (*)
*) KUKUH YUDHA KARNANTA, Staf pengajar di Departemen Bahasa dan Sastra Inggris FIB Universitas Airlangga Surabaya
Saksikan video menarik berikut ini:
baca dong https://www.jawapos.com/minggu/halte/29/11/2020/perihal-jahanam-dalam-film-horor-indonesia-kini/Bagikan Berita Ini
0 Response to "Perihal ‘Jahanam’ dalam Film Horor Indonesia Kini - JawaPos"
Posting Komentar