Search

Ketika penulis asal Indonesia bergerak menggeser dominasi Hollywood - BBC News Indonesia

  • Emma Jones
  • Reporter bidang hiburan

Jesse Q Sutanto

Ketika novelnya yang berjudul Dial A for Aunties hendak diterbitkan perusahaan penerbit asal Inggris, penulis asal Indonesia, Jesse Q Sutanto, tidak menyangka Netflix langsung tertarik membeli hak pembuatan filmnya.

Penulis yang bermukim di Jakarta itu menggambarkan isi novel debutnya ibarat 'Crazy Rich Asians bertemu Weekend at Bernies'.

Menurutnya, novel mengenai seorang fotografer pernikahan yang secara tidak sengaja membunuh laki-laki yang dia temui saat kencan buta kemudian menyembunyikan jenazahnya dalam pesta pernikahan orang Indonesia, muncul pada saat tepat.

"Semua orang perlu hiburan karena lockdown. Plot yang berlebihan serta kekonyolan jenazah di acara pernikahan besar adalah eskapisme luar biasa.

"Pernikahan orang Indonesia keturunan Tionghoa menakjubkan dan mereka bisa mengundang tamu rata-rata hingga 2.000 orang. Tokoh utama dalam novel saya harus menyembunyikan jenazah dengan bantuan ibu dan tantenya."

Pada versi filmnya, Jesse akan menjadi produser eksekutifnya. Adapun sutradaranya adalah Nahnatchka Khan, yang pernah menggarap Fresh off the Boat, serial televisi mengenai keluarga imigran asal Taiwan yang beradaptasi dengan kehidupan di Amerika Serikat.

Pawn

Dia meyakini novelnya tidak akan diadaptasi ke dalam wujud film "tanpa kesuksesan Crazy Rich Asians".

Film Crazy Rich Asians, yang dibuat berdasarkan novel karya Kevin Kwan, adalah film blockbuster AS pertama yang semua tokohnya diperankan orang-orang Asia. Film tersebut telah menghasilkan hampir £200 juta dari pemutaran di seluruh dunia.

Tak lama setelah Crazy Rich Asians ditayangkan, masyarakat dunia dikejutkan oleh kemenangan bersejarah film asal Korea Selatan, Parasite, pada ajang Piala Oscar awal tahun ini.

Lantas apakah kekuatan budaya akhirnya bergeser ke Timur?

"Banyak topik yang muncul bersamaan dalam badai 2020," jelas Mike Goodridge, direktur bidang artistik pada Festival Film Internasional Makau yang bakal digelar untuk kali kelima pada Desember mendatang.

"Kini China resmi menjadi pasar film terbesar di dunia—ada 1,3 miliar orang di sana dan jumlah tersebut jauh di atas pasar AS. Anda bisa menantikan film hits berskala raksasa keluar dari China—film-film yang hampir mendulang US$1 miliar di China saja."

'Lebih terbuka pada teks terjemahan'

"Namun, ada pula perubahan besar. Di masa lalu, kita semua tunduk pada apa yang bisa disebut imperialisme budaya Amerika—kita semua terbiasa menunggu film blockbuster Hollywood berikutnya. Mereka membuat film-film dan memperlihatkannya ke seluruh dunia.

"Namun, layanan streaming seperti Netflix dan Amazon bertujuan mencari pelanggan di setiap negara. Film-film Marvel tidak bisa begitu saja dilempar ke penonton—harus ada film buatan lokal dan TV. Mereka menginginkan kisah mereka sendiri.

"Sehingga perusahaan-perusahaan AS ini menaruh uang pada pembuatan konten di seluruh Asia, termasuk mendirikan pusat di Singapura," papar Goodridge.

Goodridge memprediksi peluang kemunculan film hit dari Asia tergolong tinggi.

"Pergeseran ini bertepatan dengan pandemi. Kita tidak lagi melihat banyak film Hollywood karena film-film itu ditunda, sehingga para penonton di rumah banyak berfokus pada TV atau film berbahasa asing yang menarik dan tidak pernah ditonton sebelumnya. Kita menjadi lebih terbuka pada teks terjemahan," jelasnya.

Korea Selatan, yang industri musiknya telah sukses mengekspor artis-artis K-Pop semisal BTS ke penjuru dunia, berada pada posisi terdepan untuk memanfaatkan situasi menyusul kesuksesan film Parasite, film non-bahasa Inggris pertama yang menjadi film terbaik Piala Oscar.

Parasite

Darcy Paquet, pembuat teks terjemahan film Parasite dan pendiri koreanfilm.org, membantu menciptakan Festival Film Korea di London yang dibuka pada 29 Oktober dengan menampilkan film box office Korea, Pawn.

Kesuksesan Parasite di dunia juga mengerek pamor dua film pendek garapan sutradara Bong Joon-ho yang membuatnya terkenal di Korsel, yakni Incoherence yang dirilis 1994 dan Influenza terbitan 2004. Kedua film tersebut menerima sambutan hangat di Festival Film Korea.

"Tentu saja apapun yang dibuat Bon Joon-ho kini akan menarik perhatian dunia," kata Paquet. "Gaya Bong yang membuatnya bisa mengakses penonton sedemikian besar—namun sutradara Korea lainnya, seperti Park Chan-wook, juga menarik penonton internasional yang jumlahnya berkembang."

"Jumlah penonton bioskop di Korea adalah yang tertinggi di dunia, per kapita. Masyarakat Korea amat mencintai film dan cara mereka bercerita canggih.

"Kita bisa menantikan film menakjubkan lainnya dari Korea untuk berdampak—dan kini penonton Barat mungkin lebih bersedia memberikan kesempatan [bagi film-film Korea tersebut]."

Film-film itu mengangkat nilai-nilai yang mungkin tidak familiar bagi penonton Barat.

"Ada penekanan yang kuat pada keluarga—dan peran satu individu di dalam keluarga adalah bagian kunci untuk terhubung dengan karakter [dalam film]," kata Paquet.

"Jelas di Korea—begitu pula di Jepang dan China—pendidikan, sains, dan teknologi sangat dihargai dan itu dituangkan dalam film," tambahnya.

"Dan ironinya berkurang jauh jika dibandingkan dengan cerita-cerita Hollywood—beragam emosi dalam cerita mereka diungkapkan secara sangat langsung dan bisa menjadi sangat intens."

Namun, mengekspor nilai-nilai budaya yang berbeda ke penonton Barat tidak selalu berjalan mulus.

"Di China, ada semacam pakem mengenai alur cerita. Mereka mengikuti aturan di masyarakat: dalam sebuah cerita, jika seseorang melakukan pembunuhan, apapun skenarionya, orang itu harus dipenjara," papar Mike Goodridge, direktur bidang artistik pada Festival Film Internasional Makau.

"Jika Anda terbiasa cara berkisah Hollywood, lalu Anda menonton [film China] dan berpikir, 'mereka tidak bisa dipenjara dong!'. Nilai moral mereka sangat terpancar."

Dan ketidakmengertian budaya itu juga berlaku bagi film Barat yang ditayangkan di China. "Crazy Rich Asians gagal di China," kata Goodridge.

Crazy Rich Asians

Bagaimanapun, mengingat Crazy Rich Asians sukses di mana-mana, dan film The Farewell garapan Lulu Wang punya daya tarik, Hollywood tampaknya yakin cerita-cerita mengenai warga Amerika keturunan Asia berpotensi memikat penonton dalam jumlah banyak.

Baru-baru ini diumumkan serial Killing Eve yang dibintangi Sandra Oh dan Awkwafina akan ditayangkan Netflix. Kemudian Adele Lim—yang turut menulis Crazy Rich Asians—akan bekerja sama dengan sutradara-produser Jepang, Hikari, untuk menggarap drama romantis Lost for Words.

Lim juga turut menulis animasi baru Disney, Raya and the Last Dragon, dengan Awkwafina dan Kelly Marie Tran sebagai aktor sulih suara.

Dengan segala penampilan tersebut, apakah Asia masih memerlukan Hollywood?

"Vietnam, misalnya, berpenduduk 100 juta orang dan seperti Korea Selatan, Taiwan, dan Selandia Baru mereka menangani krisis Covid-19 dengan baik," kata Anderson Le, orang Amerika keturunan Vietnam.

Le adalah direktur bidang artistik untuk Festival Film Internasional Hawaii bulan ini, dan turut mendirikan studio film East yang memproduksi film-film dari Vietnam dan berbagai negara di Asia Tenggara.

"Setengah dari seluruh penduduk [Vietnam] berusia di bawah 40 tahun," jelasnya.

"Bioskop-bioskop dibuka, penjualan tiket bagus, dan karena tidak ada persaingan dari film-film Hollywood, para penonton menyaksikan film-film lokal yang sangat bagus.

"Menurut saya, negara-negara seperti Vietnam, China, dan Korea tidak perlu memikirkan Amerika sekarang. Mereka seperti industri film Bollywood di India, dalam konteks mereka ingin menjangkau penonton di dalam negeri terlebih dulu. Kesuksesan lainnya hanyalah bonus bagi mereka."

Kesuksesan lain bagi film Asia yang dimaksud Le adalah Piala Oscar. Mengukir prestasi di ajang Academy Awards, menurutnya, membuat film produksi lokal dapat menggapai status kehormatan.

Nomadland

Pada 2021, selama Academy Awards jadi digelar, Asia akan kembali punya sesuatu yang dijagokan.

Film Nomadland, yang dibintangi Frances McDormand, difavoritkan meraih predikat film terbaik. Ceritanya berlokasi di Amerika Serikat—namun penggarapnya, Chloe Zhao yang lahir dan dibesarkan di China, boleh jadi bakal tampil sebagai perempuan kedua yang meraih status sutradara terbaik.

Let's block ads! (Why?)

baca dong https://www.bbc.com/indonesia/majalah-54898062

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Ketika penulis asal Indonesia bergerak menggeser dominasi Hollywood - BBC News Indonesia"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.