REPUBLIKA.CO.ID,Geliat perkembangan film Indonesia semakin tahun kian menggembirakan. Pada 2016 jumlah penonton film nasional mencapai 37,2 juta orang.
Setahun berikutnya, yaitu pada 2017 angka itu bertambah menjadi 42,7 juta orang. Meski begitu, suguhan film ternyata tidak selalu memberikan nilai positif bagi penikmatnya.
Menurut Ketua Komunitas Pencinta Film Islam (Kopfi) Kharis Perdana, ada empat kriteria utama film bisa dikatakan sebagai tontonan positif. Pertama, isi dan konten yang disampaikan dalam film tidak bertentangan dengan nilai ajaran Islam. Kedua, konten yang tidak mengandung unsur pornografi dan pornoaksi.
"Tidak boleh ada sedikit pun adegan yang menyangkut dua hal tersebut," kata Kharis dalam diskusi bertajuk 'Muslim Milenial dan Film Positif' di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Ketiga, film bermuatan baik yang inspiratif dan tidak menjadi kontroversi dalam masyarakat. Keempat, film tidak harus bergenre religi, tetapi dapat bermuatan nilai-nilai Islam.
Sayangnya, film bernuansa positif dan Islami belum mendapatkan jumlah penonton yang cukup besar. Kharis melihat banyak film dengan muatan positif justru sepi peminat. Hanya dalam hitungan hari, film bermuatan positif hilang dari bioskop. "Banyak film Islami yang tidak bertahan lama," ujarnya.
Dia mencontohkan, film Moonrise Over Egypt yang hanya bertahan selama dua hari di bioskop. Film yang mengangkat kisah perjuangan Haji Agus Salim berdiplomasi di Kairo itu hanya menjaring 4.200 penonton.
Menurut sutradara film Tausiyah Cinta Humar Hadi, film Islami mesti bergerak cepat agar tidak tertinggal dengan genre lainnya. "Film Islami kalau enggak bergerak sekarang, nanti lebih mundur lagi," kata Humar.
Dalam melakukan dakwah, banyak cara dapat ditempuh. Salah satunya dengan mengembangkan metode syiar melalui film bioskop. Sineas bisa memadukan budaya populer yang terdapat dalam ajaran Islam yang bisa diterima generasi sekarang.
Regulasi dan belanja untuk membuat sebuah film tidaklah murah. Namun, dia meyakini cara berdakwah seperti ini sesuai dengan perkembangan zaman. Apalagi, kata dia, film-film berkonten negatif masih mendominasi bioskop.
Humar fokus pada pembuatan film bertema Islami. Dia berkomitmen terus berkarya dengan napas yang tidak menabrak syariat Islam.
Pengarah film 5 PM ini pun mencoba menyerahkan hasil akhirnya pada penonton. Selera menonton setiap orang berbeda dan tidak bisa dipaksakan. Namun, sebagai pembuat film dia mencoba menawarkan suguhan tontonan yang lebih baik.
Humar mencoba mengemas film dengan menarik sehingga pesan kebaikan yang disampaikan tidak seperti memberikan ceramah. Dia tak menyangkal kisah percintaan merupakan cerita yang paling diminati.
Beberapa film Islami yang laris di pasaran pun banyak mengangkat kisah percintaan penuh drama seperti poligami. Sebut saja film Ayat-Ayat Cinta dan Surga yang Tak Dirindukan. Kedua film itu sukses menggaet masingmasing 3,5 juta dan 1,5 juta penonton.
Meski hasilnya menggiurkan, pria yang juga dikenal sebagai penulis skenario ini enggan mengangkat kisah yang melukai perasaan wanita. Dia lebih memilih menjelajah pada bagian drama kehidupan sehari-hari dengan sentuhan komedi. n dwina Agustin ed: qommarria rostanti
baca dong http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/news-analysis/18/04/19/p7fj6g415-nasib-film-islami-di-negeri-mayoritas-muslimBagikan Berita Ini
0 Response to "Nasib Film Islami di Negeri Mayoritas Muslim"
Posting Komentar