Orang gila tidak butuh diviralkan, tetapi butuh kasih sayang.
—
SOSOK Joker dalam lakon-lakon Batman memang sejak awal kelahirannya digambarkan sebagai sosok yang jahat, kejam, dan identik dengan tertawanya yang aneh. Ia dilahirkan sebagai tokoh antagonistis. Namun, dalam film Joker, dia dimunculkan sebagai sosok tokoh utama.
Film Joker menghangat di berbagai media tanah air. Di antaranya, Jawa Pos yang merilis tulisan Fauzan Fua’di, Inspirasi Joker untuk Pembangunan (12/10), dan kolom Show & Selebriti, Tak Sekadar Berdandan Badut, yang diisi dengan historisitas munculnya Joker, mulai 1966–2019 yang dimunculkan sebagai sosok jahat. New York Times merilis tulisan Lawrence Ware ”The Real Threat of Joker is Hiding in Plain Sight” (9/10). Sungguh luar biasa resonansi Joker tahun ini lantaran melahirkan pro dan kontra.
Dalam berbagai tulisan tentang Joker, tampak bahwa dia adalah sosok yang mengalami kegilaan. Tentunya, kegilaan itu berujung pada stigma sosok manusia yang destruktif. Sebab, dia suka membuat onar, menyakiti orang, bahkan lebih parah lagi adalah membunuh orang dengan kejam. Intinya, menimbulkan ketakutan yang luar biasa dalam kehidupan masyarakat. Dia, sang pengidap kegilaan, membuat masyarakat tidak bisa tidur nyenyak karena dihantui ketakutan akan disakiti sang Joker.
Media, Kegilaan, dan Joker
Kegilaan tentu merupakan ketakutan tersendiri dalam masyarakat modern. Sosok orang gila adalah ancaman bagi orang lain. Karena itu, Joker menunjukkan realitas bahwa orang gila adalah ancaman bagi orang lain. Karena itu, dalam film tersebut digambarkan Joker suka membuat onar karena membunuh orang-orang yang tidak bersalah. Bahkan, lebih parah lagi, dia membunuh ibunya sendiri. Stigma itu menunjukkan bahwa orang gila adalah sosok yang menakutkan, bahkan lebih menakutkan daripada hantu.
Stigma bahwa orang gila sebagai sosok yang suka membuat onar memang tidak salah. Simak saja, Tempo menuliskan ”Jagat Joker yang Kelam” (5/10), Republika merilis tulisan Anggia Ermarini ”…dampak skizofrenia dapat berakibat sefatal sebagaimana yang ada di film. Bahkan, dalam kehidupan nyata sangat mungkin ada penderita yang karena tidak tertangani secara baik, berefek lebih liar dan lebih kejam dari Joker” (10/10). Kompas ”Menelaah Joker dan Kontroversi Kekerasan di Baliknya” (7/10). Semua media tersebut menunjukkan sisi gelap seorang pengidap kegilaan, di antaranya, skizofrenia. Tentunya, ketika media turut memviralkan bahwa orang gila adalah sebuah ancaman, khalayak umum pun akhirnya mau tidak mau semakin kuat pandangannya bahwa orang gila adalah sosok yang menakutkan bagi kehidupan mereka.
The Profesor and the Mad Man, Kegilaan, Sisi Lain
Sekali lagi, tidak semua orang gila itu menakutkan. Tidak semua orang gila berbahaya. Dan tidak semua orang gila merupakan ancaman bagi orang lain. Tahun 2019 ini merupakan tahun yang memunculkan film tentang kegilaan dalam dua sisi, pertama sisi baik dan kedua sisi jahat. Dalam Joker, sosok manusia yang mengalami kegilaan digambarkan sebagai manusia yang destruktif. Sebab, dia melakukan keonaran, menyakiti orang lain, dan melakukan pembunuhan.
Namun, kita juga wajib tahu bahwa ada pula film yang mengangkat sosok orang gila yang mampu memberikan kontribusi positif kepada masyarakat. The Professor and the Madman (2019) menarasikan Dr. William Chester Minor (Sean Penn), pengidap skizofrenia, yang turut membantu seorang leksikografer Dr. James Murray (Mel Gibson) dalam menyumbangkan lema untuk membuat Oxford English Dictionary (OED). Dalam film tersebut, James Murray benar-benar dibantu Minor karena menyumbangkan banyak lema terkait dengan kamus bahasa Inggris tersebut –yang kini menjadi kamus legendaris dan mendunia.
Minor merupakan sosok yang mengalami skizofrenia, tetapi malah membantu masyarakat dalam melahirkan kamus. Sayang, nama dia sebagai sang penulis kamus tidak boleh dimunculkan pemerintah Inggris lantaran dianggap mencemari kamus yang bermartabat tersebut. Jangan sampai, kamus Oxford tersebut dibantu/ditulis orang yang gila.
Dalam konteks psikologis, seseorang yang mengalami skizofrenia adalah sosok yang tidak mampu menyejajarkan pikiran dan realitas oleh karena dia mengalami keterpecahbelahan jiwa. Namun, terkadang, saraf kecerdasannya tidak mengalami kerusakan. Karena itu, sosok Minor mampu membaca dengan baik dan mampu menyumbangkan lema untuk kamus Oxford.
Meredam Kegilaan
Dalam beberapa kasus, seseorang yang mengalami kegilaan dan melakukan keonaran terhadap masyarakat adalah orang yang memang disingkirkan masyarakat. Karena itu, ketika kita mengetahui, mengenali, dan memahami seseorang yang mengalami kegilaan, pernah gila, ataupun memiliki gejala kegilaan, kiranya janganlah kita semakin menjauhinya ibarat mereka adalah hantu yang menakutkan.
Mereka juga sama dengan kita, membutuhkan kasih sayang. Semakin kita takut, menjauhi, bahkan mengucilkan orang gila lantaran dianggap sebagai sebuah ancaman, mereka akan menjadi manusia yang benar-benar mengancam kehidupan manusia. Mereka hanya butuh kasih sayang dari kita semua, bukan semakin memviralkan bahwa orang gila adalah ancaman besar.
*) Anas Ahmadi, dosen kajian budaya Universitas Negeri Surabaya; menulis buku Psikologi Jungian, Film, Sastra (2019)
baca dong https://www.jawapos.com/minggu/saujana/13/10/2019/film-kegilaan-sisi-lain/Bagikan Berita Ini
0 Response to "Film, Kegilaan, Sisi Lain - Jawa Pos"
Posting Komentar