Search

Dramatisasi Film Pahlawan dan Potensi Distorsi Sejarah - CNN Indonesia

Jakarta, CNN Indonesia --

"Tanah kita sangat kaya, tapi kenapa kita selalu kelaparan. Dimana-mana terlihat tubuh kurus dan penyakitan. Kenapa saudara-saudara?"

"Ini saatnya kita tunjukkan siapa diri kita. Berteriaklah! Tuan Imperialis, kita akan tuntut Tuan atas kelakuan Tuan kepada tanah kami!" teriak Soekarno di hadapan ratusan rakyat Indonesia sesaat sebelum dijebloskan ke penjara oleh Belanda.

Itulah sepenggal pidato dari Soekarno yang diucapkan Ario Bayu saat berakting sebagai Soekarno dalam film Soekarno: Indonesia Merdeka (2013).


Film garapan sutradara Hanung Bramantyo ini menceritakan perjalanan hidup Soekarno sebagai salah satu proklamator bangsa.

Di film tersebut, Hanung tidak hanya menghidupkan kembali sosok Soekarno yang fenomenal lewat pidato-pidatonya, namun juga banyak hal lain dari Soekarno yang keluar dari interpretasinya.

Salah satunya adegan ketika Soekarno (Ario Bayu) berinisiatif mendatangkan pelacur untuk tentara Jepang agar tidak mengambil gadis-gadis desa.

Cerita mengenai hal itu memang ada dalam buku karya Cindy Adams berjudul Bung Karno, Penyambung Lidah Bangsa Indonesia (1966).

Dalam buku diceritakan bahwa Soekarno berdiskusi dengan tokoh adat dan agama di Minangkabau untuk mencari jalan keluar perihal tindakan tentara Jepang di Indonesia yang haus seks.

Soekarno mengusulkan untuk memanfaatkan para pelacur di daerah tersebut untuk memuaskan keinginan Jepang dan mencegah anak-anak gadis yang masih baik-baik diganggu oleh tentara Jepang.

Usulan Soekarno tersebut disetujui para tokoh masyarakat hingga akhirnya terkumpul sekitar 120 pelacur yang siap dipekerjakan di lokalisasi tentara Jepang.

Namun dalam film Soekarno: Indonesia Merdeka (2013), Hanung memiliki interpretasi lain. Ia membuat adegan di mana Bung Karno sendiri yang membawakan ratusan pelacur ke barak tentara Jepang dan menyaksikan para pelacur itu yang digilir oleh tentara Jepang dengan cara yang sadis.

Adegan tersebut memang sengaja didramatisasi oleh Hanung untuk menimbulkan efek emosional bagi penonton yang menyaksikan.

Pemerhati film sekaligus penulis novel, Leila S. Chudori mengatakan bahwa hal-hal seperti itu sah-sah saja karena memang film tersebut bersifat fiksi alias rekaan.

"Kalau yang namanya fiksi, sutradara boleh melakukan yang namanya 'creative license', dia mempunyai lisensi kreatif yang artinya sutradara memiliki kebebasan menginterpretasikan peristiwa-peristiwa di masa lalu yang mungkin tidak terlalu jelas ada di buku sejarah," ujar Leila pada CNNIndonesia.com, Jumat (6/8).

Meski berlatar sejarah, bagi Leila film berlatar sejarah tetap 'berhak' didramatisasi mengikuti kebutuhan kreativitas sineas, itulah yang membedakan film feature dengan dokumenter.

"Nah kalau yang namanya fiksi saya tidak mengenal kata distorsi karena ini fiksi, fiksi itu payungnya dari segala payung ini adalah fiksi, and you have to understand yang namanya fiksi itu kan bukan fakta" Tutur Leila.

"Kalau misalnya para yang membuat ini bilang ini nggak boleh begini karena kakek nggak begini ya udah bikin dokumenter aja" tegasnya.

Simak lanjutan pembahasan di halaman berikutnya..

Risiko Film Sebagai Referensi Tunggal Sejarah

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

Adblock test (Why?)

baca dong https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20210813124714-220-679936/dramatisasi-film-pahlawan-dan-potensi-distorsi-sejarah

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Dramatisasi Film Pahlawan dan Potensi Distorsi Sejarah - CNN Indonesia"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.