Kini, karena studio-studio Hollywood kehabisan karakter pahlawan super untuk dibuat menjadi film, mereka beralih ke tokoh penjahat super sebagai gantinya. Dimulai dari Suicide Squad dan Venom, mereka kali ini beralih ke musuh bebuyutan Batman yang memiliki senyum sangat lebar, Joker.
Penulisan ulang kisah asal-usul Joker yang ditulis Todd Phillips berbeda dengan kisah-kisah lain dalam subgenre penjahat super. Tanpa perkelahian dan perampokan bank, Batcave maupun Batmobile, Joker adalah sebuah drama yang gelap dan suram tentang kehidupan kota yang usang, keterasingan, protes anti-kapitalis dengan visi retro yang khas dan akting memukai dari tokoh sang sentral, Joaqin Phoenix.
Akan tetapi, apakah perbedaan-perbedaan ini membuatnya jauh lebih baik ketimbang film-film penjahat super lainnya, masih perlu dipertanyakan.
Tidak jelas di mana latar film ini berkisah, namun pengggambaran Gotham City dihadirkan melalui grafiti-grafiti di dinding bangunan, sampah bertebaran dimana-mana seperti kota New York sebelum digentrifikasi di film Taxi Driver dan Midnight Cowboy.
Ini adalah tempat tinggal Arthur Fleck, yang diperankan oleh Phoenix sebagai sosok yang sangat kurus dengan tulang rusuk dan tulang belakang yang mencuat dari segala sudut.
Tidak ada aktor pria sekurus ini sejak Christian Bale - ya, aktor yang memerankan Batman, menjalani diet ketat untuk membuat tubuhnya sekurus serangga di film The Machinist.
Arthur mencari nafkah sebagai badut pesta, dan berbagi flat yang berantakan dengan ibunya yang sudah tua, Penny (Frances Conroy), satu dari banyak kemiripan kisah dengan film yang pernah dibintangi Phoenix pula, You Were Never Really Here.
Bertahun-tahun sebelumnya, Penny bekerja untuk industrialis terkaya Gotham, Thomas Wayne (Brett Cullen) - ayah, tentu saja, dari Bruce Wayne - jadi dia berharap bahwa jika dia menulis surat permohonan kepada bos lamanya, maka mantan bosnya itu akan menyelamatkannya.
Sementara itu, Arthur berharap dia bisa berkencan dengan seorang ibu tunggal nan menarik (Zazie Beetz) yang tinggal di sebuah lorong suram.
Dia juga berharap bahwa dia bisa berhasil menjadi seorang komika stand-up, bahkan mungkin muncul di sebuah talk show yang dipandu oleh Murray Franklin yang diperankan Robert De Niro.
Tetapi karena Arthur memiliki serangkaian penyakit mental yang mengharuskannya minum tujuh jenis obat, kesempatan harapan ini terpenuhi hampir 'setipis' tubuhnya.
Film ini menelusuri terungkapnya berbagai rahasia keluarga secara bertahap, dan bagaimana keturunannya lambat laun menjadi pembunuh maniak - dan maksud saya benar-benar lambat.
Joker tidak memiliki banyak plot, apalagi subplot, jadi hanya ada beberapa adegan besar yang sebelumnya tidak dimunculkan di trailer.
Phoenix memberikan sebuah pertunjukkan yang luar biasa - selalu dapat dipercaya bagaimana kasarnya ia - dan saya cukup senang duduk dan menyaksikan dia melompat-lompat dengan sepatu yang kebesaran dan berpose balet di tangga yang indah dan kotor.
Tapi, betapapun tidak biasanya gaya 70-annya yang kumuh hadir, Joker pada akhirnya hanyalah film supervillain berdurasi dua jam yang rapuh, di mana penonton hanya menunggu Arthur berubah menjadi Pangeran Badut Jahat yang sepenuhnya matang.
Jika film ini dipotong menjadi satu jam dan kemudian diselingi dengan plot Batman, bisa jadi ini film yang bagus.
Skenarionya, oleh Phillips dan Scott Silver, memang membuat beberapa tambahan lucu tentang kisah Joker. Salah satunya adalah bahwa Arthur memiliki kondisi medis yang berkaitan dengan sindrom Tourette, yang memaksanya mengeluarkan ucapan atau gerakan yang spontan tanpa bisa mengontrolnya pada saat-saat yang paling tidak nyaman. Phoenix membuat adegan itu mengerikan sekaligus memilukan.
Naskahnya juga memposisikan ulang Joker sebagai anti-pahlawan (atau super-anti-pahlawan), seseorang yang main hakim sendiri dengan menembak mati tiga bandit Wall Street sebagai bentuk pembelaan diri, sehingga menginspirasi masyarakat kelas bawah Gotham untuk mengenakan topeng badut dan menentang para konglomerat serakah - termasuk Thomas Wayne yang menariknya bertingkah seperti bandit dan tidak mengundang simpati.
Baiklah. Phillips dan Silver berhak menggambarkan versi Joker yang mereka sukai. Tetapi film mereka terlalu dangkal untuk dianggap serius sebagai studi tentang konflik antar-kelas dan penyakit mental.
Dan, dibandingkan dengan dalang sadis yang sama yang sudah diperankan baik di komik dan di layar, tokoh protagonisnya anehnya pasif dan tidak mengancam. Batman bisa memoles manusia malang ini tanpa merusak jubahnya.
Betapapun, Joker lebih unggul dari Suicide Squad dan Venom yang disebutkan sebelumnya. Penciptaan ulang tanpa cacat nuansa dekade sebelumnya adalah prestasi peniruan yang luar biasa.
Dan saya akan sangat setuju jika Phoenix kembali memerankan karakter ini dalam sekuelnya. Tetapi gagasan bahwa Joker secara signifikan lebih dewasa dan cerdas daripada film-film superhero (atau supervillain) sebelumnya? Kamu pasti bercanda.
★★★ ☆☆
Anda bisa membaca versi bahasa Inggris dari artikel ini, Venice Film Festival review: Joker, di laman BBC Culture.
baca dong https://www.bbc.com/indonesia/vert-cul-49631565Bagikan Berita Ini
0 Response to "Joker: Benarkah film ini jauh lebih baik ketimbang film-film bandit lainnya? - BBC Indonesia"
Posting Komentar