Search

Review Film: Tenet Hiburan • 9 menit yang lalu - CNN Indonesia

Jakarta, CNN Indonesia --

Karya Christopher Nolan enggak jauh-jauh dari tema ruang dan waktu, lengkap dengan segudang plot twist. Sebut saja Memento (2000), Inception (2010), Interstellar (2014) dan Dunkirk (2017). Hal yang sama juga terjadi di film terbarunya, Tenet (2020).

Namun Tenet yang menyematkan pembalikan waktu sebagai tema utama ini tak seperti konsep penjelajahan waktu di film-film lain. Dalam Tenet, seseorang yang kembali ke masa lalu akan mendapati dunia masa lalu itu bergerak terbalik kecuali dirinya.

Akan tetapi, dari sudut pandang yang berbeda, si penjelajah waktu itulah yang sebenarnya bergerak terbalik karena ia melawan arus waktu. Sebelum lebih jauh, sinopsis Tenet bisa dilihat di sini.


Mulai dari konsep ini lah, sejumlah pertanyaan membingungkan yang ada sejak awal film mulai terjawab.

Kenapa ada orang yang bergerak terbalik? Siapa pria bertopeng yang menyerang sosok The Protagonist (John David Washington)? Sampai dalang penyebab Perang Dunia Ketiga pun terkuak.

Premis dari film ini benar-benar di luar nalar saya. Bayangkan cerita agen rahasia seperti James Bond, lalu dipadukan dengan kerumitan perjalanan waktu demi menyelamatkan dunia dari Perang Dunia Ketiga, tapi dengan arahan Nolan. Gila kan?

Nolan pun masih memegang teguh ciri khasnya dalam Tenet dengan terus membuat setiap karyanya begitu berbeda juga berkarakter, dan membingungkan.

Film ini mungkin salah satu film terberat yang pernah Nolan buat. Penonton mungkin akan bingung dengan apa yang terjadi sepanjang film ini berlangsung. Bagaimana tidak, Nolan mencampuradukkan semua materi dari film-film yang pernah ia garap, mulai Memento, Inception, hingga Interstellar.

Duo Washington-Pattinson

Meski begitu, kerumitan gagasan dengan adegan laga yang banyak dalam film berdurasi dua setengah jam ini sejatinya paradoks dengan performa para aktor di dalamnya. Tak ada karakter yang stand out alone.

Mereka hanya menjalankan sesuai dengan porsinya masing-masing, seperti The Protagonist (John David Washington) yang hanya berfokus menjalankan misi, atau Neil (Robert Pattinson) yang hanya setia kepadanya, atau Sator (Kenneth Branagh) yang ingin dunia berakhir.

Film TenetReview film Tenet menilai bila The Protagonist adalah Batman, maka Neil adalah Robin. (dok. Warner Bros Pictures via IMDb)

Semua karakter hanya berkisar pada pertarungan pihak yang menjaga lini masa di film ini dengan pihak yang ingin merusak waktu demi kehancuran dunia. Tak ada yang dominan di antara keduanya.

Berbicara soal lini masa, meski Tenet berlandaskan pada sudut pandang The Protagonist, saya menilai alur cerita ini justru diambil dari lini masa Neil.

Hal itu terlihat dari kedekatan antara The Protagonist dan Neil. Sejak pertama kali bertemu, Neil seakan sudah mengenal The Protagonist sejak lama.

Bisa dibilang, Neil adalah sidekick yang amat bisa diandalkan dan mampu memprediksi apa yang akan terjadi. Bila The Protagonist adalah Batman, maka Neil adalah Robin. Aksi keduanya ini pun amat memukau dan pantas menyandang julukan itu.

Situasi yang terjadi antara dua karakter ini memang sempat membuat The Protagonist curiga. Namun penjelasan Neil di akhir misi lah yang membuat saya menilai bahwa sejatinya, film ini berjalan dari sudut pandang si 'Robin'.

"Bagiku, kupikir ini adalah akhir dari persahabatan kita" kata Neil. Padahal bagi kehidupan The Protagonist, itu justru awal dari lini masanya.

Sound Mixing vs Scoring

Beban menyaksikan Tenet belum berakhir hanya dari lini masa dan sudut pandang siapa yang digunakan. Dengan segala keglamoran unsur fiksi-ilmiah dan aksi ledakan di sana-sini, hampir sebagian besar dialog tidak terdengar jelas.

Hal itu bukan karena sound bioskop buruk, melainkan karena suara backsound yang lebih dominan. Anehnya, hampir sebagian besar film yang dibuat Nolan memang memiliki sound mixing yang mengganggu.

Entah tidak mau belajar dari pengalaman, atau Nolan memang sengaja melakukannya agar filmnya bisa disebut tidak sempurna? Entah lah.

British director Christopher Nolan arrives on May 13, 2018 for the screening of a remastered version of the film Review film Tenet menilai, banyak film yang dibuat Christopher Nolan memiliki sound mixing yang mengganggu. (AFP/ALBERTO PIZZOLI)

Meski begitu, apakah menyaksikan Tenet jadi pengalaman yang kurang menyenangkan? Tidak sama sekali. Bila sound mixing film ini terdengar mengganggu, maka scoring Tenet adalah juaranya.

Tenet adalah film Nolan pertama sejak The Prestige (2006) dengan aspek scoring tidak diisi oleh Hans Zimmer. Untuk pertama kali, Zimmer menolak kerja sama dengan Nolan dan memilih mengisi scoring Dune (2021).

Ditolak Zimmer, Nolan kemudian menggandeng pendatang baru bernama Ludwig Göransson. Sebelum Tenet, ia memenangkan Oscar untuk karyanya di Black Panther (2018).

Apakah karya Göransson mengecewakan? Tentu saja tidak. Justru dengan kehadiran Göransson, scoring Tenet terasa lebih berbeda.

Göransson menggemparkan telinga penonton dengan nada-nada repetitif dan lebih up-beat. Ia juga menambahkan detail unik. Misalnya saja saat The Protagonist kembali ke masa lalu, Göransson bereksperimen membuat scoring secara terbalik alias mundur.

Arti Tenet

Kegemilangan Tenet tidak berhenti sampai di situ. Tenet tercatat memecahkan rekor film Nolan sendiri sebagai film dengan format IMAX terbanyak. Sekitar 487 kilometer rekaman IMAX dibuat untuk Tenet.

Director of Photography film ini, Hoyte Van Hoytema mengakui bahwa ia merekam lebih banyak dalam format IMAX daripada semua film yang Nolan pernah buat, dan tanpa CGI. Wow.

Selain itu, Christopher Nolan selalu menyisipkan pesan-pesan tersembunyi di dalam film ini. Usai menonton, saya pun penasaran arti di balik judul Tenet.

Film TenetTenet dinilai premis film ini di luar nalar. (dok. Warner Bros Pictures via IMDb)

Menurut saya, jawaban itu muncul dalam salah satu adegan dalam film ini. Adegan itu berisikan dua tim yang salah satunya bergerak maju selayaknya pada waktu normal, dan tim yang lain bergerak mundur sebagai akibat pembalikan waktu.

Kedua tim itu memiliki waktu yang sama, yaitu sepuluh menit. Sepuluh menit (ten) maju dan sepuluh menit mundur (net), yang kemudian secara tidak langsung membentuk palindrom "Tenet".

Palindrom dari "tenet" itu juga bermakna sebagai sesuatu yang tak berujung, berputar tanpa akhir seperti perputaran waktu. Meski memiliki makna tanpa akhir, toh dua setengah jam menyaksikan Tenet dalam teater IMAX nyatanya terasa amat cepat berlalu.

Pada akhirnya, Tenet menjadi tanda dari seorang Christopher Nolan bahwa karyanya kini dan di masa mendatang akan terasa menyenangkan untuk disaksikan. In Nolan We Trust.

[Gambas:Youtube]

(end)

[Gambas:Video CNN]

Let's block ads! (Why?)

baca dong https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20210225115025-220-610721/review-film-tenet

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Review Film: Tenet Hiburan • 9 menit yang lalu - CNN Indonesia"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.