Brilio.net - Siapa yang tak suka menonton film? Hampir sebagian besar orang tentu akan menyukai film karena bisa menghibur dan melepas penat dari kehidupan sehari-hari. Bahkan, melalui film, kamu juga bisa mendapatkan pesan moral yang mendalam.

Respon orang setelah menonton film pasti beragam. Bisa saja ada orang yang begitu mengagumi dan memuji sebuah film, namun ada pula orang yang menganggap bahwa film yang sama sangatlah membosankan atau kurang direkomendasikan untuk ditonton. Respons setelah menonton film ini bisa kamu tuangkan dalam bentuk teks ulasan film.

Teks ulasan film sendiri bertujuan untuk menyampaikan pandangan penulis beserta sinopsisnya kepada pembaca. Dengan demikian, pembaca bisa menilai sendiri apakah ia akan memutuskan menonton sebuah film atau tidak. Teks ulasan film ini juga memiliki struktur yang membedakannya dari jenis teks lainnya.

Struktur dalam teks ulasan film terdiri dari identitas, orientasi, tafsiran, evaluasi, dan rangkuman. Berikut penjelasan lebih detail mengenai struktur teks ulasan film:

ANDA MUNGKIN MENYUKAI INI

1. Identitas, memuat informasi terkait film, seperti judul, genre, sutradara, nama pemain, dan tahun rilis.

2. Orientasi, berisi gambaran singkat dari film yang diulas, sifatnya seperti pembuka.

3. Tafsiran, memuat sinopsis film supaya pembaca bisa mendapatkan gambaran dari sebuah film. Dalam tafsiran juga diungkapkan mengenai ide-ide atau hal utama yang disampaikan oleh sebuah film.

4. Evaluasi, menjelaskan tentang pandangan atau pendapat penulis ulasan terhadap film yang diulasnya. Penulis ulasan pun bisa menyampaikan kelebihan maupun kekurangan dari film.

5. Rangkuman, pada bagian ini penulis ulasan akan memberikan kesimpulan dari seluruh tulisannya. Ada penulis yang secara terang-terangan merekomendasikan film atau justru memberi rating kurang baik. Namun, ada pula penulis yang tidak menyampaikan pendapat pribadinya untuk menonton tidaknya sebuah film, sehingga sepenuhnya menyerahkan keputusan pada pembaca.

Supaya kamu lebih memahami lagi mengenai teks ulasan film, kamu bisa membaca beberapa teks ulasan film. Nah, berikut brilio.net rangkum dari berbagai sumber, Kamis (6/1), inilah contoh teks ulasan film yang bisa kamu pahami lebih jauh.

1. Teks ulasan film Aladdin.

Contoh teks ulasan film © 2022 brilio.net

foto: pexels.com

Identitas

Sutradara : Guy Ritchie

Tanggal rilis : 2019

Pemain : Naomi Scott, Will Smith, Mena Massoud, dan Marwan Kenzari

Disney Studio memperkenalkan Aladdin, sebuah live action terbaru yang diadaptasi dari salah satu kisah animasi klasik Disney dari tahun 1992. Film Aladdin sendiri memperlihatkan petualangan Aladdin (Mena Massoud), seorang pemuda jalanan yang menawan. Princess Jasmine (Naomi Scott) yang pemberani, serta Genie (Will Smith) yang menjadi kunci bagi masa depan mereka.

Berlatar di Agrabah versi film live action dari Disney Aladdin ini akan membawa kembali kisah dan karakter ikonik favorit para penggemar dengan sentuhan modern di dalamnya.

Agrabah sendiri merupakan rumah dari Aladdin, seorang pemuda yang ingin mengubah hidupnya yang hanya seorang pencuri, karena aia percaya bahwa dirinya ditakdirkan untuk sesuatu yang lebih besar.

Di sudut kota lainnya, Princess Jasmine, sang putri Sultan merasa terkurung oleh ayahnya. Jasmine memiliki keinginan untuk merasakan hidup di luar istana serta keinginan membawa perubahan untuk Agrabah. Setelah keduanya dipertemukan, Aladdin jatuh cinta dengan Jasmine dan melakukan berbagai cara untuk mendapatkannya.

Kisah Aladdin sendiri merupakan kisah klasik dengan nilai universal yang menarik bagi para penggemar dari segala kalangan dan usia. Kisah ini terinspirasi dari dongeng asal Timur Tengah, Legenda Seribu Satu Malam.

Cerita Lama Rasa Baru

Sesuai yang dijanjikan film Aladdin live action ini memang tak jauh berbeda dengan film animasi klasik Aladdin yang tayang pada tahun 90-an. Meski begitu, ada beberapa yang berbeda.

Perbedaan itu terlihat pada pakaian yang digunakan Mena Massoud. Jika dalam animasi, Aladdin hanya memakai rompi ungu, namun di film ini Aladdin 2019 ini memakai kemeja putih dan rompi merah.

Tak hanya itu, pakaian pernikahan yang digunakan Aladdin dan Princess Jasmine pun terlihat sangat indah dan modern. Serta ada dance kekinian yang diperagakan oleh Mena Massoud.

Mena Massoud Tampil Menawan

Bermain di film Aladdin, Mena Massoud tampil sangat menawan, bukan hanya pandai dalam berakting saja. Namun Mena mampu memperdengarkan suara merdunya, serta kepiawannya dalam menari, yang membuatnya semakin cocok memerankan Aladdin. Meskipun, Mena sendiri baru pertama kali bermain sebagai pemeran utama, setelah beberapa tahun masuk di dunia entertain.

Di sisi lain, Naomi Scott juga sangat bagus menghidupkan karakter fenonemal, Princess Jasmine. Sikap tegas itu pun sangat terlihat. Meskipun awalnya, dirinya sempat dihujat netizen lantaran dianggap tak cocok memerankan Jasmine yang berasal dari Timur.

Will Smith Menyempurnakan Cerita

Tak hanya Mena Massoud dan Naomi Scott saja yang berhasil memerankan karakter di film Aladdin. Namun, kepiawaian Will Smith dalam bidang akting juga membuat film Aladdin tersebut menjadi semakin berwarna.

Meskipun berkisah drama, namun beberapa penggalan cerita Aladdin memiliki unsur komedi, yang akhirnya membuat penonton di dalam bioksop tertawa. Film yang digarap Guy Ritchie ini akan membuat para penggemar mengingat kisah Aladdin yang fenomenal.

Sumber: fimela.com

2. Teks ulasan film Dilan 1991.

Contoh teks ulasan film © 2022 brilio.net

foto: pexels.com

Identitas

Sutradara : Pidi Baiq dan Fajar Bustomi

Tanggal rilis : 2019

Pemain : Iqbaal Ramadhan, Vanescha Prescilla, Yoriko Angeline, dan Adhisty Zara

Melanjutkan kisah Dilan 1990, film Dilan 1991 mengisahkan hubungan Dilan dan Milea yang sudah resmi pacaran. Ditengah kebahagiaan mereka berdua, Dilan terancam dipecat dari sekolah akibat perkelahiannya dengan Anhar. Dilan juga semakin sering berkelahi dan mendapatkan musuh. Milea khawatir dengan masa depan Dilan jika terus-terusan terlibat dalam masalah. Sebagai pacar Dilan, Milea merasa berhak melarang Dilan untuk terlibat dalam geng motor.

Suatu ketika, Dilan dikeroyok oleh orang yang tidak dikenal. Saat Dilan mengetahui siapa yang berbuat, ia merencanakan balas dendam. Milea yang sudah putus asa karena Dilan yang keras kepala, akhirnya meminta Dilan berhenti dari geng motor atau hubungan mereka berakhir. Dilan terdiam. Tetapi, Dilan tetaplah Dilan, seorang panglima tempur, ketua geng motor yang akan selalu terlibat masalah dan mengundang musuh untuk menghajarnya.

Ditengah semua masalah itu, hadir Yugo, anak dari sepupu jauh ayahnya Milea yang baru saja pulang dari Belgia. Untuk beberapa saat, Mereka sering menghabiskan waktu bersama. Yugo menyukai Milea. Dan Milea hanya mencintai Dilan.

Durasi panjang selama 2 jam adalah cara sutradara Fajar Bustomi dan Pidi Baiq berkompromi dengan cerita novelnya. Kolaborasi naskah Titien Wattimmena, Pidi Baiq terlihat berhasil membangun konsistensi kisah Dilan seperti di novel. Pidi Baiq menjadi kunci film ini tetap sejalur dengan novelnya.

Berbeda dengan film yang pertama, film Dilan 1991 lebih kompleks karena tak cuma hubungan Dilan dan Milea saja yang ditampilkan. Ada hubungan dengan orang ketiga, Yugo. Ada hubungan orangtua Dilan dan Milea. Juga Milea dengan teman-teman geng motor Dilan. Semua harus dihubungkan oleh Dilan dan Milea.

Lebih Kompleks

Inilah yang menjadi tugas berat bagi Iqbaal Ramadhan dan Vanesha Precilla. Humor ringan dan rayuan gombal, masih menjadi senjata utama. Mereka berusaha menunjukkan chemistry yang meningkat.

Kalau dibandingkan dengan yang pertama, Iqbaal nampak menumbuhkan karakternya dengan baik. Vanesha sendiri lebih berhasil membangun karakternya ketika berhadapan dengan Bunda Dilan yang diperankan oleh Ira Wibowo. Dengan Dilan? rasanya masih nggak jauh beda sama film pertama. Ada adegan yang usai nonton masih berfikir keras, itu Milea ngapain ya?

Untungnya, kolaborasi sutradara Fajar Bustomi dan Pidi Baiq menjaga chemistry Dilan dan Milea dengan beberapa kali memperlihatkan fokus pada mata dan sentuhan-sentuhan kecil yang bikin ketawa geli sendiri. Mereka konsisten dengan adegan-adegan yang realistiss tak jauh dari kehidupan sehari-hari.

Realistis

Selain kisah cinta, film ini lebih berat karena ada hubungan anak dan orangtua dengan menampilkan beberapa pilihan gaya parenting. Untungnya, Dilan 1991 tidak meninggalkan tugasnya sebagai tontonan yang menghibur meskipun sarat pesan terselubung.

Untuk tetap nyaman duduk selama hampir dua jam meyaksikan film ini tentu PR sendiri. Gambar-gambar Bandung di era 90-an menjadi nostalgia cukup tertata, namun tetap saja ada titik pengulangan yang membikin bosan saat nonton. Karena ada 10 lagu OST diselipkan dalam film ini, bosan bisa diatasi. Terlihat upaya keras tim Dilan 1991 memberikan kenyamanan menonton.

Satu hal yang patut diapresiasi adalah kemampuan tim Dilan 1991 untuk Di beberapa film yang banyak diselipin sponsor. Product placement kadang bikin malas. Jujur saya cukup trauma nonton iklan snack coklat di film yang bersetting tahun 1922. Sangat mengganggu sekali produk tersebut dalam logika cerita film. Untungnya, film Dilan 1991 tidak memberikan efek mulas meskipun banyak iklan yang diselipkan.

Sumber: fimela.com

3. Teks ulasan film Makmum 2.

Contoh teks ulasan film © 2022 brilio.net

foto: pexels.com

Identitas

Sutradara : Guntur Soeharjanto

Tanggal rilis : 2021

Pemain : Titi Kamal, Samuel Rizal, Marcella Zalianty, Dea Panendra, Otig Pakis, Jason Bangun, Yusuf Ozkan, Muhammad Fauzan

Melanjutkan kisah sukses jilid perdana yang meneror 800 ribuan penonton, Makmum 2 karya sineas Guntur Soeharjanto menyapa bioskop Indonesia sejak Kamis (30/12/2021). Film yang dibintangi Titi Kamal ini syuting di Kampung Adat Kuta, Jawa Barat, meski ceritanya berlatar Jawa Timur. Pandemi Covid-19 kala itu tak memungkinkan pemain dan kru bergerak terlalu jauh. Diharapkan sesukses pendahulunya atau menjadi film Indonesia pertama yang tembus sejuta penonton di tengah wabah, sebagus apa Makmum 2? Berikut review film Makmum 2.

Bude Yanti Meninggal

Kehilangan seolah tak henti menghantui Rini (Titi Kamal). Setelah ditinggal mati suami tiga tahun silam, ia ditelepon Alif (Samuel Rizal) yang kini tinggal di Desa Suayan. Dari ujung telepon, Alif mengabarkan Bude Yanti meninggal dunia. Mau tak mau, Rini dan anaknya, Hafiz (Jason Bangun) mudik ke desa yang warganya menolak kehadiran listrik. Pemakaman selesai digelar. Warga menggunjing Yanti meninggal akibat nekat memasuki hutan Larangan. Rini yang mendengar, menyimpan perkara itu dalam hati saja.

Di sana, Hafiz bermain dengan Afdal (Muhammad Fauzan), Iwan (Yusuf Ozkan), dan seorang bocah kurus kering berkaki pincang. Suatu hari, mereka bermain petak umpet hingga masuk ke hutan Larangan. Sempat dicari warga desa, anak-anak ini ditemukan tak sadarkan diri lalu kesurupan. Rini yang syok berat mulai mencari informasi seputar hutan Larangan ke tetangga, dari Aisyah (Marcella Zalianty), Lastri (Dea Panendra) hingga Mbah Zahar (Otig Pakis). Perlahan, Rini paham ada sesuatu yang mengerikan di dalam hutan.

Tetap Saja Bikin Panik

Harus diakui, dua per tiga awal film ini menarik. Kejelian Rafki Hidayat dalam menyusun naskah dan menebar “ranjau” teror di sejumlah adegan efektif membangun ketegangan. Makhluk terbungkus kain putih di belakang Rini yang sedang salat, meski lebih dari sekali muncul, tetap saja bikin panik. Teknik makhluk ini memperlihatkan kehadirannya pun bervariasi, dari muncul betulan hingga sekedar memberi klu bahwa dia eksis. Klu ini pun datang tepat waktu hingga jatung rasanya mau copot.

Kesan Tangguh

Hal lain yang patut diapresiasi, ekspresi Titi Kamal ikut mengabari penonton bahwa ada yang tak beres di rumahnya. Air muka Titi Kamal dari curiga, berubah menjadi takut, lalu panik sejadi-jadinya membuat penonton ikut heboh sendiri. Di tangan Titi Kamal, karakter Rini memperlihatkan kesan tangguh meski berkali tampak pula sisi rapuh. Sejuah ini, menyerah memang bukan pilihan Rini. Ia sadar betul, hidup harus berlanjut.

Babak Akhir Kehebohan

Problem Makmum 2 baru muncul di babak akhir, ketika konflik mesti diselesaikan dan ternyata, jalan menuju ke sana kelewat heboh. Makmum 2 bergerak dari pola pikir sederhana bahwa kita mesti ucap permisi kalau mau masuk ke rumah orang. Apalagi, sampai mengambil tanpa izin dan merusaknya. Anda harus mengembalikan atau mengganti. Namun visualisasi dari konsep ini di babak akhir terkesan berlarut-larut, cenderung bising. Niatnya ingin memberi klimaks menjulang dan tak terlupakan. Hasil akhirnya cenderung bising padahal sudah kentara arahnya mau ke mana.

Tak Kan Bisa Dicuri

Andai bisa dirapikan, tidak bertele-tele alias sok rumit di pengujung cerita, Makmum 2 bisa jadi lompatan yang memperbaiki pencapaian pendahulunya. Plus, aksen sejumlah pemain dalam melafalkan dialog Jawa Timur-an masih kurang lancar. Selebihnya, Makmum 2 terasa asyik. Film ini sudah punya fondasi cerita yang kuat dan hantu khas. Sosok makmum tidak akan bisa dicuri meski Rudy Soedjarwo pernah menampilkannya sekilas dalam Hantu Rumah Ampera.

Mudah Diterima, Familier

Makmum 2 mudah saja diterima berkat ceritanya dekat dengan masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim dan pastinya familier dengan aktivitas salat. Selentingan soal hantu makmum yang kerap terdengar adalah sinyal kuat untuk terkoneksi dengan penonton. Kekuatan film ini memang terletak pada dua pertiga awal yang intens. Penonton seolah digiring masuk ke labirin teror. Meski babak akhir terkesan berlebih, penonton yang kadung terjebak tak mungkin berbalik arah. Tuntaskan hingga ke menit akhir.

Sumber: liputan6.com

4. Teks ulasan film Follow Me.

Contoh teks ulasan film © 2022 brilio.net

foto: pexels.com

Identitas

Sutradara : Will Wernick

Tanggal rilis : 2020

Pemain : Keegan Allen, Holland Roden, Denzel Withaker, Ronen Rubinstein, Pasha D. Lychnikoff, George Janko, Siya

Zaman sekarang siapapun bisa terkenal tanpa harus melahirkan karya. Melabrak orang di medsos atau bikin konten absurd, selama itu digunjing netizen, maka pelaku bisa viral. Perkara terkenalnya sekejap atau bertahan lama itu urusan nanti. Di era medsos apapun bisa dijadikan konten dari menggeropyok pelakor sampai mengerjai orang lain alias prank. Nah, level prank pun macam-macam. Follow Me, bermaksud menangkap fenomena itu. Jelas ini ide menarik sekaligus peka zaman. Apakah hasil akhir Follow Me semenarik idenya? Berikut review film Follow Me.

Level Ekstrem

Karya sineas Will Wernick ini mengisahkan konten kreator Cole Turner (Keegan Allen) yang menjalin cinta dengan Erin Isaacs (Holland Roden). Suatu hari, pasangan ini bersama sahabat mereka yakni Dash Hill (George Janko), Samantha (Siya) dan Thomas (Denzel Whitaker) terbang ke Rusia. Mereka memenuhi undangan pria kaya bernama, Alexei Koslov (Ronen Rubinstein) untuk menjajal permainan Escape Room level ekstrem. Cole dan kawan-kawan dimasukkan ke sebuah gedung menyerupai penjara untuk para penjahat negara.

Alexei memberi klu andai bisa lolos, Escape Room level ekstrem ini akan jadi pengalaman tak terlupakan bagi sang pesohor. Momen Cole menjajal Escape Room di Rusia disiarkan langsung lewat akun medsosnya. Dunia menyaksikan kesintasan Cole Turner di sini.

No Escape

Tanpa diizinkan membawa ponsel, Cole syok saat kali pertama masuk dan mendapati dirinya dipenjara. Agar bisa lolos, ia harus punya kunci. Kunci itu tersimpan di perut jenazah laki-laki yang tergeletak di salah satu sudut penjara. Perilisan Follow Me disertai sejumlah fenomena menarik. Di AS, film ini sudah rilis di bioksop dan video on demamd tahun lalu dengan judul No Escape. Entah mengapa, ia lantas dirilis dengan judul internasional Follow Me. Mungkinkah karena film ini dihujani kritik negatif kritikus? Ataukah enam tahun sebelumnya ada film berjudul sama dengan bintang Owen Wilson yang diguyur pujian? Jika kemungkinan pertama yang benar, muncul pertanyaan baru: Seburuk itukah Follow Me?

Punya Karisma

Kami telah menonton dan kesan pertama usai menyaksikan adalah akting para pemain yang gagal meyakinkan. Keegan Allen punya karisma untuk menjadi semacam YouTuber. Tampang tampan, atraktif sekaligus komunikatif kepada audiens, gaya busana oke, plus punya pacar cantik. Sepertinya, ini standar emas tak tertulis untuk siapa pun yang ingin jadi pesohor dengan karier langgeng.

Agak Rapuh

Di tengah jalan, Keegan kurang mampu mentransfer ingar bingar di medsos, dampaknya secara psikologis, termasuk kengerian yang dihadapi di Escape Room level ekstrem. Yang tampak dalam film hanya gaya hidup mewah hura-hura. Memang, gaya hidup semacam inilah yang disuguhkan mayoritas YouTuber Tanah Air yang kerap mengunggah konten dengan judul “Gerebek rumah si anu seharga sekian M” dan sebagainya. Logika yang ditawarkan Follow Me juga agak rapuh.

Agak Gimana, Gitu...

Orang Amerika pergi ke Rusia menemui sosok yang tak terlalu dikenal berdasarkan percaya saja dengan rekomendasi sahabat kok sepertinya agak gimana, gitu. Belum lagi konten kreator sekelas Cole Turner, termasuk papan atas mestinya punya asisten, manajer, dan dayang-dayang. Penyakit mayoritas film macam ini tentu saja keputusan kembali ke sumber teror atas nama kemanusiaan padahal tak punya skill memadai untuk mencari solusi. Follow Me masih saja terjebak dalam drama ini, untuk menggerakkan cerita.

Ringan dan Ringkas

Kondisi ini kemudian dikaitkan dengan akhir adegan. Di luar itu, materi kengerian yang disajikan Follow Me masih menarik diikuti. Sejumlah “wahana” menyimpan kengerian yang terasa riil, bikin pelaku dan penonton gemetaran. Will cukup cerdik menyimpan kejutan hingga ke babak akhir. Andai penyuntingan lebih gesit, tempo cerita tentu lebih bergegas dan sukses bikin penonton tahan napas. Jika butuh hiburan ringkas dengan efek sensasi ketar-ketir, Follow Me dengan kisah yang ringan dan ringkas bisa dilirik.

Sumber: liputan6.com

5. Teks ulasan film Filosofi Kopi.

Contoh teks ulasan film © 2022 brilio.net

foto: pexels.com

Identitas

Sutradara : Angga Dwimas Sasongko

Tanggal rilis : 2015

Pemain : Chicco Jerikho, Rio Dewanto, Julie Estelle

Sineas perfilmlman Indonesia sepertinya kian dewasa untuk memilih tema cerita yang akan diangkat ke layar lebar. Tidak hanya mementingkan nilai komersial, tetapi juga mulai terasa menunjukan passion dan budaya dari film tanah air. Filosofi Kopi yang diangkat dari novel karya Dewi Lestari jadi satu pilihan yang sangat kompeten untuk semua kriteria tersebut. Film ini tentang salah satu kedai kopi di Jakarta yang masih dalam masa perkembangan. Kedai ini dirintis oleh dua pemuda yang bersahabat, yakni Jody yang diperankan oleh Rio Dewanto dan Ben yang diperankan oleh Chico Jericho. “Filosofi Kopi” adalah dua kata tepat untuk disematkan ke kedai kopi mereka.

Bercerita tentang Ben (Chicco Jerickho) yang tergila-gila dengan kopi dan setelah berpetualang dunia untuk mencari tahu segala hal mengenai kopi, akhirnya Ben dibantu oleh temannya (Rio Dewanto) membuat sebuah kedai yang dinamakan Filosofi Kopi. Nama tersebut diambil karena jenis kopi yang dipesan oleh para pengunjung akan diberikan sebuah kartu ucapan mengenai filosofi kopi tersebut. Sampai akhirnya datang tantangan dari pngusaha kaya yang merasa hidupnya sempurna, dia rela memberi satu miliar bila kafe tersebut dapat membuat sebuah kopi yang sesuai dengan hidupnya, yaitu kesempurnaan. Ben yang amat “gila” dengan kopi berhasil menciptakan sebuah mahakaryanya, yaitu sajian kopi dengan Filosofi kesempurnaan karena rasa yang dihadirkan sangat luar biasa hingga Ben berhasil memenangkan tantangan tersebut. Masalah mulai datang ketika bapak bernama El datang ke kafe tersebut dan memberitahu Ben kalau kopi yang diberikan dengan tagline sempurna itu masih kalah dengan kopi yang pernah dirasakannya di sebuah desa kecil. Ben langsung penasaran seperti apa kopi tiwus yang dibilang bisa mengalahkan mahakaryanya itu dan mengajak Jody untuk berpetualang mencari. Masalah yang dianggap sepele oleh Jody ini justru akan mengancam persahabatan dan kelangsungan kafe Filosofi Kopi mereka.

Alur cerita Filosofi Kopi dalam film, berkesan sederhana tapi menyampaikan banyak hal.Terutama jika Anda pecinta kopi, film ini akan punya nilai tersendiri untuk Anda. Bagaimana secangkir kopi dibuat kemudian menceritakan berbagai momen dengan kesan berbeda bagi tiap penikmatnya. Mungkin film ini berubah menjadi terasa membosankan jika penontonnya sendiri tidak terlalu tertarik dengan dunia kopi, tetapi tetap masih ada nilai lain yang ditawarkan seperti pesan moral kekeluargaan, persahabatan, kesederhanaan, dan lain-lain.

Filosofi tidak hanya mendewasakan film itu sendiri, tetapi juga para audience-nya. Kita tahu penonton tanah air secara mayoritas masih kurang begitu suka dengan adegan banyak dialog dan plot flashback yang memaksa penonton mengambil kesimpulan dari keseluruhan tayangan. Justru Filosofi Kopi melatih kita untuk memahami bahwa drama tak selamanya membosankan, tetapi justru nilai tertinggi dalam film. Akting para pemeran dalam film ini sudah sangat tidak diragukan. Persiapan yang dilakukan oleh masing-masing pemeran film ini sangat keren. Mereka benar-benar belajar meracik secangkir kopi dan menikmati filosofi di balik secangkir kopi itu.

Adakah yang saya sayangkan secara peran dalam film ini? Tidak ada. Jika Anda adalah penggila atau penikmat kopi, film besutan Angga Dwimas Sasongko ini merupakan film yang sangat recommended buat para coffee lovers.

Sumber: adoc.pub.com

6. Teks ulasan film Tusuk Jelangkung di Lubang Buaya.

Contoh teks ulasan film © 2022 brilio.net

foto: pexels.com

Identitas

Sutradara : Erwin Arnada

Tanggal rilis : 2018

Pemain : Anya Geraldine, Rayn Wijaya, Bima Azriel, dan Nina Kozok

Ekspektasi umum ketika menonton film horor adalah mendapatkan teror, ketegangan, dan rasa takut. Sensasi ini bagi penggemar horor membuat ketagihan. Namun, bukan sensasi itu yang didapatkan melainkan pusing ketika nonton film Tusuk Jelangkung di Lubang Buaya.

Sebenarnya, dari alur cerita film ini cukup bisa dinikmati karena sederhana. Tentang Sisi (Nina Cozo) seorang vloger tempat-tempat mistis yang selalu total untuk mendapatkan vlognya serta dengan segala resikonya. Dia penasaran dengan Lubang Buaya, lalu memainkan Jelangkung disana.

Sisi menghilang, lalu Mayang (Anya Geraldine) dan Arik (Rayn Wijaya) berusaha menemukan kembali sisi kakanya yang telah menghilang. Ternyata ada kisah dibalik Jelangkung yang digunakan oleh Sisi. Kisah inilah yang seharusnya bisa membuat bulu kuduk berdiri.

Namun, ekskusi gambar ternyata tak semulus ceritanya yang sederhana. Dari awal film ini bikin pusing dengan gambar yang tidak fokus dan jelas. Bahkan untuk fokus pada karakter wajah pemain saja sulit dilakukan. Penonton seolah diajak berlari secara visual, namun ceritanya lambat.

CGI film Tusuk Jelangkung nampak setengah hati dilakukan. Penampakan-penampakan setan tidak mengesankan. Beberapa titik adegan, saya bahkan memilih memejamkan mata agar bisa bertahan terus melanjutkan nonton film ini sampai akhir.

Padahal, lokasi syuting film ini cukup menjanjikan jika digarap dengan baik. Keindahan alam yang alami bisa memanjakan mata. Namun, nyatanya DOP tidak bisa menangkap keindahan itu dengan lensa kamera.

Hal lain yang mengganggu dalam film Tusuk Jelangkung adalah ketidak konsistennan budaya dalam film ini. Sebenarnya premis film ini cukup menarik karena tak mengandalkan kisah masyarakat relegius seperti film horor Indonesia akhir-akhir ini.

Serba Tanggung

Tusuk Jelangkung berani keluar dari pengkotakan mayoritas muslim di Indonesia. Film ini mengambil budaya sebagai jalan untuk melawan setan atau penampakan lain di dalam film. Sayangnya, semua serba tanggung. Unsur budaya tidak dimaksimalkan baik melalui kostum, gesture, lisan, semua serba tanggung hingga akhir kisah.

Maka jangan tanya bagaimana akting masing-masing pemain. Asal bisa melotot, teriak, rasanya semua bisa bermain di film ini. Kedalaman emosi tidak ada yang nampak.

Satu hal lagi yang membuat pusing adalah tata suara. Film horor sering menggunakan suara yang mengagetkan untuk membuat penonton merasa tercekam. Tapi bukannya mencekam, rasanya malah bikin sakit telinga. Apalagi, sangat mudah untuk ditebak suara mengelegar sebentar lagi muncul. Jadi mana mungkin bisa merasa mencekam?

Satu tinggalan yang bisa diambil dari film ini adalah debut Anya Geraldine sebagai pemain baru. Sukses sebagai selebgram, kehadirannya cukup menarik minat penggemarnya untuk ke bioskop. Potensi penonton dari akting Anya ini perlu dikelola lebih baik ke depan.

Demam penonton film horor tak bisa dipungkiri. 5 dari 10 film laris film Indonesia tahun ini disumbang oleh film horor. Bukankah data ini menarik untuk Produser? Tentu saja. Produksi film horor melimpah tahun ini, bahkan untuk Januari 2019 saja sudah ada 4 judul film horor yang siap tayang.

Namun, film Tusuk Jelangkung seperti menghianati kepercayaan penonton film Indonesia. Setelah pesta sepanjang tahun bagi penggemar film horor Indonesia lewat beberapa judul film yang menjanjikan seperti Pengabdi Setan, Danur 2: Maddah, Asih, Suzzana: Bernafas dalam Kubur, Sabrina, Jailangkung 2 film horor Tusuk Jelangkung menjadi anti klimaks di akhir tahun. Setelah dimanja dengan kualitas, tiba-tiba penonton disuguhi film yang kedodoran di banyak sisi.

Sumber: fimela.com

7. Teks ulasan film Lamaran.

Contoh teks ulasan film © 2022 brilio.net

foto: pexels.com

Identitas

Sutradara : Monty Tiwa

Tanggal rilis : 2015

Pemain : Acha Septriasa, Reza Nangin, Restu Sinaga, Mak Gondut, Cok Simbara, Arie Kriting, Sacha Stevenson, Wieke Widowati, Ozzol, Mongol, Dwi Sasono, Tora Sudiro, Eka Sitorus.

Sinopsis

Tiar Siragar (Acha Septriasa) adalah seorang pengacara asal Batak yang cantik dan masih lajang. Tiar sebenarnya masih termasuk pengacara muda. Tapi namanya secara tiba-tiba menjadi sangat terkenal setelah dia membela Basuki karena kasus korupsi yang melibatkan Arif Rupawan, seorang bos mafia. Karena keberaniannya tersebut Tiar mendapatkan ancaman pembunuhan dari Arif yang takut kasusnya terbongkar.

Saat ancaman menerpa Tiar, muncul dua agen yaitu Ari (Arie Kriting) dan Sasha (Sacha Stevenson). Kedua agen ini melakukan segala cara untuk melindungi Tiar. Mereka sampai a merekrut resepsionis kantor Tiar yang polos bernama Aan (Reza Nangin) untuk menyamar menjadi pacar Tiar. Namun keberadaan Aan tidak disetejui oleh keluarga besar Tiar, karena Aan bukan orang batak melainkan orang Sunda.

Demi menyembunyikan penyamarannya, Aan berusaha untuk merebut hati keluarga besar Tiar. Keluarga besar Tiar mangatakan mereka bersedia menerima Aan kalau ia punya marga. Namun hal ini justru dimanfaatkan oleh sepupu Tiar, Meja, yang menggunakan kesempatan pembelian marga ini untuk keuntungan diri sendiri. Tetapi Bu Sarigar (Lina Marpaung/Mak Gondut) berencana menjodohkan Tiar dengan Raymond, pria asal Batak yang ganteng dan kaya.

Kehadiran Raymond diharaplkan bisa membuat Tiar terpesona dan memutuskan hubungannya dengan Aan. Namun tidak disangka Aan malah berhasil mengambil hati Tiar dan keluarga besarnya terutama Bu Sarigar dengan memberinya inspirasi menjadi stand up comedian.

Masalah muncul kembali saat Ibunya Aan, Ibu Euis (Wieke Widowati) mengetahui hubungan Tiar dengan anaknya itu. Ibu Euis awalnya menyetujui anaknya menikah dengan orang Batak, tetapi karena perbedaan budaya dengan keluarga besar Siregar, Ibu Euis semakin takut. Apalagi Ibu Sarigar memanfaatkan kepanikannya untuk membatalkan rencana lamaran kedua anak mereka.

Inilah klimaks cerita dimana Tiar dan Aan harus menghadapi masalah-masalah dari keluarga besar mereka dan ancaman pembunuhan dari bos mafia, Arif Rupawan. Dengan dibantu Ari dan Sasha, Aan berusaha meyakinkan keluarga besar Tiar dan juga ibunya agar mau merestui hubungannya dengan Tiar.

Review:

Membuat film komedi memang tidak mudah. Begitu juga dengan berakting di film komedi. Hal itu dirasakan oleh aktris sekelas Acha Septriasa. Pemain film pemenang Piala Citra ini memgaku tak mudah untuk melakoni perannya sebagai seorang pengacara asal Batak

Tak tanggung-tanggung, Acha perlu waktu berminggu-minggu untuk bisa benar-benar melakoni karakter bernama Tiar, gadis Batak yang bekerja sebagai pengacara.

“Film komedi Indonesia sudah mulai berkembang dan temanya Indonesia banget. Jadi Batak tantangan banget buatku. Memerankan karakter komedi kan susah. Aku berusaha bikin orang ketawa di dalam bioskop. Kalau penonton ketawa aku sudah senang,” ucap Acha Septriasa.

Film arahan sutradara Monty Tiwa ini sebenarnya menyajikan tema yang sederhana. Yaitu benturan dua pribadi dan dua budaya, Batak dan Sunda. Namun dari ide sederhana kalau dikemas dengan baik dan pas bisa menjadi sesuatu yang menarik dan menghibur. Hal itu mampu dieksekusi dengan baik oleh penulis skenario maupun sutradara.

Opening film ini memang agak lambat dan belum terlalu memancing tawa. Tapi setelah itu alur cerita berjalan dengan lancar dan mengalir. Beragam adegan kocak yang cerdas dan tidak slapstick mulai terasa. Acha mampu membawakan perannya dengan baik. Begitu juga dengan pemain lain yang memang asli orang Batak, seperti Mak Gondut, Cok Simbara, Restu Sinaga sampai Eka Sitorus.

Konflik antara Mak Gondut dengan Wieke Wdowati bisa dibilang cukup memancing tawa dan menjadi konflik utama film Lamaran. Reza Nangin bisa tampil sebagai pria yang polos dan naif. Begitu juga dengan Arie Kriting dan Sacha yang tampil kompak dan menggelitik. Tapi yang paling menonjol justru akting Ozzol Ramdan sebagai Meja. Ozzol tampil karikatural dan kocak sebagai sepupu Tiar yang sangat mengidolakan Project Pop terutama Tika Panggabean.

Adegan Meja menatap foto Tika dan memintanya untuk mencium tangan adalah adegan kocak yang cerdas. Ozzol beberapa kali bermain sebagai orang Minang seperti di film Tabula Rasa. Aksennya sebagai orang Sumatra sangat menyakinkan, padahal ia asli orang Sunda. Kehadiran sejumlah pemain sebagai cameo membuat Lamaran semakin menarik.

Ditambah lagi ada penampilan khusus Project Pop di film ini. Niatan Monty Tiwa untuk menampilkan film komedi yang khas Indonesia dengan menampilkan benturan budaya yang menggelitik cukup berhasil. Meski tidak menampilkan adegan-adegan yang spektakuler dan dibanjiri pemain bintang, tapi Lamaran bisa menjadi alternatif menarik untuk mengisi liburan lebaran Anda. Film Lamaran yang dibintangi Acha Septriasa ini akan tayang di bioskop mulai 15 Juli besok.

Sumber: fimela.com

(brl/far)

Recommended By Editor