The 8th Night awalnya menawarkan premis menarik berupa perjuangan biksu mencegah Bumi menjadi neraka karena kekuatan jahat bangkit setelah 2.500 tahun. Bahkan biksu dijanjikan menampilkan eksorsisme.
Hal itu menjadi janji yang menarik lantaran terbilang jarang film horor thriller atau kultus Korea Selatan menampilkan biksu yang berupaya mengusir setan. Ekspektasi pun meninggi kala akan melihat film ini.
Film ini dibuka dengan kisah pada 2.500 tahun lalu. Kala itu, monster membuka gerbang neraka untuk mendatangkan penderitaan bagi manusia. Sang Buddha muncul melawannya dan mengambil dua mata, Merah dan Hitam, yang menjadi sumber kekuatan monster tersebut.
Kedua mata tersebut dipisahkan. Satu mata disembunyikan di ujung Barat dan yang lainnya di ujung Timur. Di antara dua lokasi itu, dimunculkan gurun hingga tebing terjal supaya keduanya tak akan pernah bersatu lagi. Masing-masing mata pun diawasi oleh seorang penjaga.
Permasalahan dimulai ketika Merah berupaya bangkit kembali. Ia memerlukan delapan hari untuk bangkit dan membuat para penjaga berada di antara hidup dan mati demi mencegah kekuatan gelap bangkit.
Begitu rampung, The 8th Night tampak cenderung sebagai film drama dan misteri pembunuhan alih-alih kultus atau eksorsisme seperti yang dijanjikan. Hal itu terlihat dari berbagai narasi yang muncul demi mencegah Merah dan Hitam bersatu dan bangkit kembali.
Belum lagi dari gaya penuturan dari film ini yang cukup menyita waktu. Pengenalan karakter yang dilakukan secara bertahap dilengkapi dengan kilas balik, kemudian kisah si Merah yang loncat dari satu babak ke babak yang lain, telah menghabiskan lebih dari separuh durasi film ini.
Bumbu-bumbu ketegangan sedikit muncul dari aksi Kim Ho-tae yang diperankan Park Hae-joon. Ho-tae merupakan detektif Unit Kejahatan Kekerasan yang berupaya memecahkan misteri kematian sejumlah orang secara misterius dalam sepekan.
Aksi Park Hae-joon dalam melakukan berbagai keputusan yang Ho-tae ambil sukses memicu emosi saya sebagai penonton. Persis sama seperti yang ia lakukan kala memerankan Lee Tae-oh dalam drama The World of the Married.
Review The 8th Night menilai aksi Park Hae-joon dalam melakukan berbagai keputusan yang Ho-tae ambil sukses memicu emosi penonton. (dok. Netflix)
|
Jujur saja, jalan cerita baru mulai menarik sejam sebelum film berakhir. Janji trailer mulai dipenuhi. Narasi kultus mulai menghiasi lakon cerita, meski aksi eksorsisme rupanya hanya sekadar tempelan sesaat sebelum mencapai penutup.
The 8th Night seolah mengakhiri kisah dengan begitu cepat setelah lama membangun cerita di awal. Sehingga, ekspektasi saya terjun bebas dan merasa film ini tak lagi semenarik di awal. Bahkan tidak menyeramkan ataupun klimaks, bagi saya.
Kendati demikian, unsur drama sangat kuat dalam film ini. Penonton bisa terpukau dan mungkin mengulang bagian-bagian tertentu ketika lapis demi lapis misteri mulai dibuka. Selain itu, setiap karakter juga dijelaskan dengan detail dari awal hingga akhir film.
Hal menarik dari The 8th Night juga datang dari chemistry keluarga yang ditampilkan Lee Sung-min dan Nam Da-reum dalam film ini. Film ini merupakan reuni bagi kedua aktor tersebut setelah membintangi drama Memory pada 2016.
Dengan pengalaman menyaksikan kedua bola mata ingin bersatu selama dua jam kurang lima menit, The 8th Night membuat saya lebih ingin menyebut film ini sebagai drama misteri dibanding horor apalagi kultus.
Film The 8th Night bisa disaksikan mulai 2 Juli 2021 di Netflix.
(end) baca dong https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20210702060700-220-662094/review-film-the-8th-nightBagikan Berita Ini
0 Response to "Review Film: The 8th Night - CNN Indonesia"
Posting Komentar