Search

Review Film Chaos Walking | Gaya Hidup - Gatra

Jakarta, Gatra.com – Perjalanan meninggalkan Bumi mencari planet yang lebih baik untuk ditinggali, bisanya berakhir dengan aksi perang antar-bintang bahkan antar-galaksi. Tapi kali ini muncul satu kisah soal bagaimana jika planet baru yang diharapkan menjadi tempat layak itu ternyata malah menimbulkan efek samping yang tidak diharapkan. Itulah yang coba diceritakan dalam film Chaos Walking. Dunia Baru (New World) adalah planet yang sangat jauh dari Bumi, sehingga butuh 64 tahun perjalanan untuk tiba di sana. Kloter pertama yang tiba di New World, lantas membentuk satu komunitas yang diberi nama Prentisstown. Ini seturut nama wali kotanya, Davy Prentiss (Mads Mikkelsen). Uniknya, semua penduduk Prentisstown adalah pria. Para wanita konon dibunuh oleh penghuni asli New World yaitu makhluk menyerupai manusia yang dinamai Spackle. Hal tidak biasa lainnya yaitu atmosfer New World membuat mereka bisa saling mendengar pikiran dan isi hati satu sama lain, yang terwujud melalui suara bahkan visualisasi. Mereka menyebutnya dengan ‘Noise’. Anehnya, Noise hanya termanifestasi pada pria saja, dan tidak pada wanita. Dengan kata lain seseorang bisa dengan mudah mengetahui pemikiran para pria tanpa filter apa pun, tapi tidak ada yang bisa mengetahui pasti apa yang ada di benak para wanita. “Noise adalah pemikiran manusia yang tidak disaring, dan tanpa ada filter itu maka manusia adalah kekacauan yang bisa berjalan (chaos walking).” Kalimat ini menjadi kata pembuka dalam novel pertama dari trilogi karya Patrick Ness tersebut. Karakter utama cerita ini adalah Todd Hewitt (Tom Holland). Setelah ibunya meninggal, ia dirawat oleh orang tua angkatnya, Ben (Demian Bichir) beserta Cillian (Kurt Sutter). Hidup Todd seketika berubah ketika ia tak sengaja menemukan pesawat jatuh tak jauh dari ladang mereka. Pesawat itu adalah pesawat pengintai milik armada kloter kedua yang masih mengangkasa. Dari seluruh kru, hanya ada satu orang yang berhasil selamat, gadis muda bernama Viola (Daisy Ridley). Belakangan, Todd tak sengaja mendengar kalau Wali Kota Prentiss dan sekutunya, Pendeta Aaron (David Oyelowo) hendak menahan Viola. Ben lantas menyuruh Todd menyelamatkan Viola dan keduanya harus pergi ke Kota Far Branch. Diharapkan di sana akan ada orang-orang yang bersedia membantu keduanya untuk bisa mengakses pesawat Viola mendahului para pria Prentisstown. Seri lengkap buku ini (tiga novel dan tiga cerita pendek) telah memenangkan hampir semua penghargaan karya fiksi untuk anak-anak di Inggris. Pada 2008 saja, setidaknya karya tersebut menggondol Guardian Award, James Tiptree Jr. Award, dan Costa Children's Book Award. Para kritikus sastra memujinya karena mampu menggabungkan beragam tema mulai dari politik gender, penebusan dosa, makna perang, juga tipisnya batas antara kebaikan dan kejahatan yang tersaji dalam narasi yang kompleks. Di atas kertas, nama-nama yang terlibat di film ini tampak menjanjikan. Holland dan Riley merupakan dua selebriti Inggris yang sedang naik daun lewat keterlibatan masing-masing di semesta Spider-Man dan Star Wars. Aktor Denmark, Mikkelsen baru saja mendapat banyak pujian dari aktingnya di Another Round (Thomas Vinterberg, 2020). Belum lagi campur tangan sutradara Doug Liman yang sudah teruji menghasilkan film-film bermutu termasuk Edge of Tomorrow (2014) dan trilogi Bourne. Sayangnya budget US$100 juta (sekitar Rp1,5 triliun) dan taburan bintang gagal menghasilkan film berkualitas. Novelnya boleh saja mendapat banyak penghargaan. Tapi tim penulis skenario kelabakan menggarapnya menjadi sebuah naskah film yang mumpuni. Faktanya, tujuh orang penulis skenario silih berganti mengubah naskahnya sebanyak belasan kali. Sejak mulai syuting di 2017, Studio Lionsgate memutuskan melakukan shooting ulang besar-besaran di 2019 silam. Premisnya menarik tapi penceritaannya tidak kuat. Misalnya faktor apa yang membuat Davy Prentiss Jr. (Nick Jonas) bermusuhan dengan Todd masih tak jelas. Atau kenapa Aaron bersekongkol dalam satu kejahatan dengan Wali Kota Prentiss, termasuk alasan memburu Viola, pun tak kentara apa dasarnya. Pada akhirnya, film ini tidak membekas banyak di benak penonton. Visualisasi Noise memang kreatif, tapi jalan ceritanya sangat mudah ditebak. Kompleksitas cerita aslinya telah tereduksi sebatas hiburan romansa remaja bersetting sci-fi seadanya dan pertempuran ala Wild Wild West yang kurang gereget. Film Chaos Walking mulai tayang di bioskop seluruh Indonesia pada Rabu, 7 April mendatang.

Editor: Flora L.Y. Barus


Let's block ads! (Why?)

baca dong https://www.gatra.com/detail/news/508263/gaya-hidup/review-film-chaos-walking

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Review Film Chaos Walking | Gaya Hidup - Gatra"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.